Tampilkan postingan dengan label kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 April 2017

Pembelajaran Dari Peristiwa Isra Mi'raj



Umat Islam mengenal beberapa hari besar selain hari Raya Iedul Fitri dan Iedul Adha, diantaranya peringatan Ista Mi'raj. Isra Mi'raj adalah sebuah peristiwa dimana Nabi Muhammad diperjalankan oleh allah SWT ke Sidratul Muntaha.

Isra Mi'raj sebenarnya merupakan dua peristiwa yang berbeda, namun karena diyakini peristiwanya berlangsung dalam waktu semalam, maka sejak dahulu selalu disebut dengan peristiwa isra Mi'raj. Isra Mi'raj diperingati pada setiap tanggal 27 Rajab di tahun Hijriyah.

Selasa, 30 Agustus 2016

Kenangan Dalam Kompas Rubrik Anak-anak

Aku dan ke dua saudaraku dibesarkan oleh orang tua dengan kemanjaan yang menghangati. Kemanjaan bukan dimanjalan dengan materi. Kami bertiga dibesarkan dengan limpahan dan timbunan komik, koran, majalah, hahaha.

Iya, bacaan anak, majalah anak, lagu anak ikut memberi kontribusi pada tumbuh kembang kami bertiga. bahkan yang namanya buku, tak ada satu sudutpun dari rumah sederhana kami yang  terbebas dari buku, majalah, koran, dan sebagainya.

Kamis, 31 Maret 2016

Menelusuri Kenangan Masa Kecil

Yuhhuy, recall memory nih, karena masa kecil masa yang sangat sarat kenangan. Kata orang, masa kecil merupakan masa yang paling indah, karena sama sekali tak ada masalah, terlindungi dari masalah, dan pekerjaan masa kecil hanya bermain saja.

Masa kecilku hidup di pedesaan di lereng sebuah pegunungan, dengan keluarga kecil karena aku hanya memiliki dua saudara. Satu kakak laki-laki yang jarak usia cukup jauh yaitu sekitar enam tahun, dan adik perempuan yang berjarak usia pendek, yaitu enam belas bulan.

Konon ceritanya, ibuku waktu itu masih menyusuiku, tapi beliau juga dalam keadaan hamil adikku, bahasa orang Jawa mengatakan sundulan, maksutnya belum waktunya disapih sudah disundul dengan kelahiran adikku.

Nah, karena hampir sebaya, kami seperti tumbuh bersama, nyaris seperti anak kembar, apalagi adikku memiliki bentuk badan yang lebih besar, dibandingkan badanku.

Kedua orang tua kami, juga memperlakukan kami nyaris seperti memperlakukan anak kembar, yaitu membelikan kebutuhan kami selalu sama, mungkin maksutnya agar tidak saling iri satu sama lain, hehehe.

Misalnya ketika orang tuaku membelikan mainan, selalu dua buah, seperti boneka, set alat masak mini, raket kecil, buku, tas, dan laiinya.

Begitu juga ketika membelikan pakaian atau sepatu, selalu dibelikan bentuk yang sama persis. Biasanya hanya berbeda di warna saja. Saat lebaran, baju baru yang diberikan persis sama, untuk aku berwarna pink, adikku dibelikan warna biru muda.

Tidak aneh kalau kenangan masa kecilku lebih banyak bersama adikku, karena hampir sepanjang waktu aku habiskan bersama adikku. Mulai dari berangkat sekolah, kemudian di rumah bermain, belajar, belajar ngaji. 

Bahkan kegiatan menjelang tidur seperti cuci kaki, sikat gigipun kami lakukan bareng. Jarang sekali aku dan adikku tidur dalam waktu yang berbeda.

Rebutan Minta Gendong Belakang

Orangtuaku, adalah orang yang sangat hangat pada anaknya, sepanjang yang aku ingat, belum pernah kami mendapatkan kemarahan. 

Jika sesekali kami melakukan kesalahan kecil, ibu dan ayahku hanya akan menatap mata kami yang menunjukkan mereka tidak setuju, atau tidak menyukai kelakuan kami. Pada saat santai, kami diberi penjelasan, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang boleh dan mana yang tak boleh. Biasanya menjelang tidur, ditemani dengan dongeng yang penuh pesan moral.

Tatapan mata itu sudah cukup untuk menghentikan kelakuan kami, seperti pertengkaran, rebutan mainan atau rebutan buku. Aku dan adikku, paling sering berebut komik yang baru datang. Atau berdesakan di depan pintu menunggu tukang koran.

Ada koran nasional yang setiap hari Jum'at memuat cerita anak, nah, itulah yang sering kami perebutkan.Aku lebih sering mgalah, atau tepatnya kalah, hehehe.

Tapi, ada lho rebutan yang tidak dilarang orang tua kami, yaitu rebutan gendong belakang menjelang tidur, hehehe.
Karena sering dibelikan komik anak-anak, maka kami sering tidur sampai malam, sehingga keesokan pagi terlambat bangun.

Nah, mungkin agar kami mau segera pergi ke kamar tidur, orang tua kami memberi 'pelayanan' sempurna menjelang tidur, hehehehe.
Ritual cuci kaki, cuci tangan dan sikat gigi, menggunakan air hangat, bahkan sampai usia kami memasuki Sekolah Dasar. Lalu, dari kamar mandi ke kamar, kami akan digendong punggung oleh ayah kami.

Kemanjaan yang diberikan inilah yang membuat kami berebut mencuci kami lebih dahulu, agar segera digendong belakang menuju kamar tidur, hehehe
 Aku, lima tahun lalu

Adikku, lima tahun lalu

Mewakili Karena Mirip

Wajah yang nyaris kembar, terkadang menguntungkan, dan ada manfaatnya hehehe. Ceritanya waktu itu ada pendaftaran lomba tari, dan adikku ikut lomba itu.
Tepat hari pendaftaran ulang, adikku sakit panas, nggak bisa berangkat, padahal harus berangkat sendiri karena harus diukur tinggi badan, guna mengatur formasi tarian.

Orang tuaku memutuskan aku yang harus ukur tinggi badan, karena tinggi kami hampir sama, aku sedikit lebih pendek. Hehehe, ternyata guru tari itu tidak 'niteni' kalau itu bukan adikku, langsung saja aku diukur.

Hanya itu saja sih, nggak sampai menggantikan menari, karena aku juga nggak bisa hehehe.
Kami  nyaris kembar, ya hanya nyaris, karena karakter kami berdua juga tak sama. Waktu kecil aku memiliki sifat introvert, sedangkan adikku cenderung lebih ekstrovert.

Adikku memiliki keberanian lebih, bergaul juga lebih luwes. Sebaliknya aku, sering tidak percaya diri, dan kurang pntar bergaul. Sebaliknya, aku mudah terbawa perasaan, adikku lebih rasional.

Kenangan masa kecil banyak yang sulit dilupakan, karena banyak kisah yang terjadi. Tidak selalu kisah itu kisah yang indah, tak jarang kisah yang tak indah, namun juga sulit dilupakan.

Seperti kisahku dan adikku, yang waktu usia Sekolah Dasar, sering disuruh ibu mengantar makanan ke rumah kakek dan nenek. Jarak rumah kakekku tidak terlalu jauh dari rumah kami, mungkin sekitar 100 meter.

Kami sering ketakutan pergi ke rumah kake, karena harus melalui rumah seorang anak perempuan yang selalu mencegat dan memaki-maki kami, sampai kami sering berlari ketakutan. Sebelum melewati rumah itu, kami pasti sudah ancang-ancang lari, karena anak itu pasti sudah menunggu di halaman rumahnya, dia seperti tahu, jam berapa kami akan lewat rumahnya.

Mungkin waktu itu hanya sebuah permusuhan sesama anak kecil saja, namun entah kami selalu ketakutan sekali, sampai pernah adikku tersandung, sehingga makanan yang dibawanya tumpah. Tentu saja kami ketakutan, karena kuatir akan kena marah ibuku.

Semua peristiwa itu, baik di dalam rumah maupun di luar, saat ini menjadi kenangan manis yang akan memancing tawa kami ketika berjumpa dalam usia yang sudah tidak muda lagi.
Kami berdua masih tertawa tergelak-gelak saat mengenang berbagai cerita masa kecil itu. Karena kisah indah, maupun kisah buruk selalu tetaplah sebuah kenangan yang terkadang sulit dilupakan.

Harus ngubek foto masa kecil, makan waktu, makanya foto padqa usia jelita  -- jelang limapuluh tahun -- mungkin mewakili, apakah menurut kalian kami mirip? hehehe

Rabu, 02 Desember 2015

Pola Asuh yang Terlalu Hangat

Pola asuh yang hangat terhadap anak, suatu hal yang positiv, tetapi jika pola asuh terlalu hangat, bisa memberikan efek yang tidak baik bagi tumbuh kembang anak. sebuah pengalaman nyata aku alami , yang terjadi pada kakakku.
Pada awalnya, sakit yang dialami kakakku, kami anggap wajar dan normal saja, tokh siapapun bisa sakit. Namun lama kelamaan hatiku mulai merasa ada yang tak beres, dengan sakit kakakku. Sakit sekali dua kali mungkin wajar, tetapi sakit kakakku, selalu berada pada situasi saat dia bekerja jauh dari kami keluarganya, jauh dari ibu dan ayahku.

Jumat, 18 September 2015

Kisah Heroik Penyelamatan Anjing dan Empat Anaknya

Rasa cinta, mampu membebaskan manusia dari sekat apapun, bahkan bukan hanya cinta kepada sesama manusia, bahkan kepada makhluk lain,  percaya tidak? boleh percaya, boleh tidak. Cerita yang kutulis ini mungkin sekilas terasa sederhana, tokh hanya cerita soal satwa, tapi jangan salah, kisah nyata ini mengajarkan kepada kita tentang cinta yang berbeda.

Sejak sehari kemarin, di time lineku lalu lalang kisah tentang kemalangan yang dialami oleh seekor induk anjing dan anak-anaknya. Keluarga kaki empat itu terkurung dalam sebuah got yang terttutup rapat, tak ada celah untuk keluar.
Whaaat...? Doggy dan anaknya terkubur dalam sebuah got? Serasa kepengin loncat membebaskan mereka. Maka selama dua hari aku nggak  berhenti mantengin time line milik salah seorang teman maya, karena dia sangat rajin meng up date kondisi terakhir keluarga doggy itu.

Senin, 06 April 2015

Menghadapi Vonis Tumor

Bagaimana menghadapi vonis tumor pada tubuh, menjadi hal yang harus diperhatikan, karena penyakit ini merupakan penyakit yang dihindari oleh semua orang. Bahkan mendengar penyakit kata tumorpun juga dihindari oleh banyak orang.
Hal itu pula yang kualami, bermula dari merasakan benjolan aneh yang ada di dada sebelah kiri. Merasakan benjolan yang tidak kecil, aku sudah memutuskan saat itu juga, bahwa kelainan sel ini harus diperiksakan kepada ahlinya, dan ada kemungkinan besar harus dioperasi.
Kenapa kuputuskan sendiri? karena aku memang pada waktu itu aku sendirian, orang tua sudah tidak ada, adik dan kakakku semuanya hidup jauh dariku.

Sabtu, 14 Februari 2015

Sepenggal Kenangan di Sela Senja

Berbincang tentang menulis, sebenarnya  bagiku bukan sesuatu yang baru. Ibarat kata, aku kenal menulis sejak masih kanak-kanak, atau mungkin malah sejak dalam kandungan, heheh, berlebihan ya?. kenapa aku sebut sejak dalam kandungan? karena ibu dan ayahku memang memiliki kegemaran menulis, aku sebut kegemaran karena di masa aku masih bayi, tulisan mereka hanya disimpan ddan dikumpulkan saja, jadi tidak dikirim ke media massa dan mendapatkan imbalan.
Menulis tak bisa dipisahkan dengan membaca, sehingga orang yang suka menulsi bisa dipastikan dia juga suka membaca.
Di rumah orangtuaku, buku ada dimana-mana. Di almari depan, di ruang tengah, di meja makan, bahkan di kamar tidur. Meskipun ada almari besar khusus untuk menyimpan buku bacaan, namun, pemandangan penuh buku terhampar di rumah orangtuaku. Orangtuaku sangat menyukai kegiatan membaca, membaca apa saja. buku sejarah, buku seni, novel penluis-penulis terkenal dimasa itu.

Membaca, ya itu yang sangat terekam dalam ingataanku tentang kedua orang tuaku. Masih sangat kuingat, saat kanak-kanak aku menyaksikan bagaimana ke dua orangtuaku tak pernah lepas dari tulisan. Pagi hari menikmati sarapan, didepan mereka sudah ada koran, siang hari juga selalu diisi dengan membaca, bahkan sampai saat mereka berada di kamar kecilpun selalu membaca. Malam hari, dengan penerangan lampu minyak kecil di meja di sisi ranjang, juga tersedia bacaan.
Setiap malam menjelang tidur, mereka bacakan buku-buku dongeng -- waktu itu yang populer dongeng-dongeng karya HC Andersen --.
Aku tidak dipaksa belajar membaca, tetapi biasa melihat pemandangan orang yang sedang membaca, akhirnya aku juga tertarik dan suka membaca
Kompasiana.com

Saat aku menjelang remaja, orang tuaku mulai mengirimkan karya mereka ke beberapa media,mereka menulis diatas mesin tulis/ mesin ketik, lalu mengirimnya melalui jasa pos.
Dari dunia kecil itulah aku mulai kenal kebiasaan menulis, karena sangat intensnya budaya membaca dan menulis di keluargaku.
Setiap pulang dari kota -- rumahku berada di desa-- oleh-oleh yang dibawa ayahku lebih banyak oleh-oleh buku dari pada oleh-oleh jajan, bahkan aku dan saudaraku kadang-kadang sampai berebut buku.
Kedua orang tuaku memiliki cara unik untuk mengenalkan kepada kami menulis untuk media massa, mereka tunjukkan terlebih dahulu, bahwa jika karya kita dimuat di media akan menghasilkan kegembiraan.

Satu saat ayahku membawa sebuah majalah anak-anak, dan ditunjukkaannya bahwa ada dongeng yang dimuat di mejalah itu dan nama penulisnya persis dengan namak, . tentu saja aku heran, kaget, takjub dan senang pastinya. Takjub sekali, karena melihat namaku tercetak disana, sampai tak jemu-jemu memandangi tulisan itu, terutama memandangi namaku, wuuuuh, serasa melayang.
Tentu saja itu bukan karyaku, itu karya ayahku yang dikirim ke majalah anak-anak itu dan ayahku menggunakan namaku sebagai penulisnya. Aku tahu, dan setelah dewasa mulai memahami maksut ayahku tersebut. Kurang lebih maksut ayahku adalah
  •  Membudayakan kebiasaan membaca, sekalipun dengan fasilitas yang terbatas, seperti penerangan yang hanya dengan lampu minyak.
  •  Mengenalkan dunia menulis pada anaknya
  • Memberikan rasa gembira melalui menciptakan karya
  • Mendorong anaknya agar mau belajar menulis dan meningkatkan minat baca, baik kuantitas maupun kualitas.
     
    kompasiana.com
Saat aku beranjak remaja, aku ingat kata-kata alm ayahku :"Kewajibane bapak, itu membuat kamu dan saudara-saudaramu suka membaca, sudah berhasil, sekarang ditingkatkan sendiri kualitas buku yang kamu baca." Duuh begitu dalamnya kalimat itu, bagaimana seorang ayah membuat fondasi mental untuk anaknya.

( Sepenggal Kenangan yang Kutulis di Sela Senja )

Rabu, 04 Februari 2015

Peduli, Tak Selalu Berbentuk Materi

Tantangan mba Ani Berta, bagiku menjadi tidak mudah, karena aku tidak memiliki background pendidikan khusus, bahkan aku merasa tak memiliki ketrampilan apapun. Tetapi, karena menulis sudah menjadi kebutuhan, dan tantangan itu selalu mengasyikkan, ya disambar sajalah.

Saat berada di desa kelahiranku sana, aku aktif di masyarakat, mulai mengajar anak-anak kecil lewat  TPQ, memberi motivasi kepada remaja, membantu sekolah mengisi kegiatan agama sampai mengisi pengajian untuk ibu-ibu muda.

Mungkin karena kegiatan sosial kujalani selama bertahun, tahun, ditambah dengan sifatku yang mudah tersentuh, mudah merasa iba melihat kondisi yang tidak menyenangkan, aku selalu ingin membantu dengan cepat, saat kutemukan seseorang memiliki masalah.

Tentu saja yang aku pedulikan adalah memang orang yang  membutuhkan bantuan, karena tidak semua orang yang memiliki masalah suka dibantu.

Masalah disini bisa apa saja bentuknya, bisa  kekurangan materi, kekurangan akses mendapatkan ilmu, dan laiinya. Semula aku ragu-ragu untuk melakukan berbagai bentuk kepedulian sosial, namun setelah beberapa kali aku buktikan, jika ternyata menunjukkan kepedulian bisa dengan berbagai cara.

Kenapa aku ragu-ragu? karena aku bukan termasuk orang yang memiliki kemampuan finansial cukup,  terlebih lagi aku hidup juga sendirian waktu itu.


Beberapa kejadian yang kusampaikan disini sama sekali tak ada niat untuk pamer, saya ingin berbagi setetes air, betapa menunjukkan kepedulian itu sesuatu yang membahagiakan.

Kisah pertama, saat pengajian anak yang aku ampu bersama beberapa kawan benar-benar tak memiliki apapun, bahkan ngaji dibawah pohon dengan tikar sobek, akupun cari akal. Kusurati beberapa media massa nasional, kuceritakan kondisi pengajian anak itu.

Alhamdulillah tak lama kemudian respon bermunculan dari berbagai tempat, mereka, orang-orang yang tidak kami kenal, mengirimkan dana, sehingga pengajian kami bisa berjalan dengan semestinya.

Bisa membeli buku Iqra', membuat beberapa kursi, dan bisa membenahi ruangan yang pantas, untuk kegiatan mengaji itu. Bahkan ada seorang donatur dari Jakarta yang setiap bulan mengirimkan dananya agar digunakan sebagai biaya operasional.

Kisah lain, aku bertetangga dengan sebuah keluarga yang kurang mampu dengan dua anak perempuan, anak yang kedua, sejak SD hingga SMU, tidak pernah memperoleh ranking dibawah satu.

Selalu saja ranking satu, meskipun belajar hanya menggunakan lampu minyak, makan sangat apa adanya, karena penghasilan orang tuanya yang tidak banyak.

Saat anak itu lulus SMU dan kutanya tidak akan melanjutkan karena bingung dengan biayanya.

Perasaanku seperti tidak terima, karena anak itu selain pandai, ibadahnya bagus, punya kemampuan leader ship oke, keperibadiannya juga sederhana, dimataku, anak ini istimewa. Aku tak bisa membiarkannya tidak melanjutkan sekolah karena ketidakmampuan finansial, namun aku juga tak mampu untuk membiayai dia.

Kembali aku berkirim surat ke media massa nasional, kuceritakan kondisi anak itu, bahkan aku bersedia mengirimkan copian raportnya sejak SD hingga SMU. Alhamdulillah, berbagai tawaran bertubi-tubi menawarkan bea siswa, menjadi anak asuh dan laiinya.
Anak itu tidak yakin, kalau para donatur itu akan mendanainya hingga kahir, dia selalu saja ragu.

Namun aku tak berhenti memberinya semangat, untuk terus maju.
Alhamdulillah akhirnya dia bersedia, dan aku dampingi mulai dari pandaftaran sampai mencari tempat untuk kost.

Akhirnya selain bisa kuliah, dia juga menjalin hubungan persaudaraan dengan salah satu donaturnya. Tawaran dari donaturnya untuk melanjutkan ke jenjang S2 dan akan diberi usaha, ditolaknya.
Menyelesaikan S1 dengan cepat, saat ini dia sudah menjadi sarjana, dan mengajar di sebuah SMP Negeri.

Ada lagi kisah aku jalan-jalan diseputar desaku, dan menemukan seorang ibu dari keluarga tak mampu menderita penyakit ( aku lupa, entah gagal ginjal, entah tumor ) hingga perutnya membesar dan badannya sangat kurus. Anaknya ada lima dan suaminya entah ada dimana.

Aku langusng menemui kepala desa, dan kuceritakan kondisinya. Aku hanya bilang pada bapak kepala Desa, mungkin sakitnya tak akan sembuh, namun tolong diberikan perhatian, setidaknya dibawa ke Rumah Sakit. Keesokan harinya, ibu itu sudah dirawat di Rumah Sakit.
Bahkan saat ini, meskipun domisiliku sudah sangat jauh, aku masih membantu koordinasi dana, dari seorang kerabat, dibagikan kepada para dhuafa', dengan menjadi tempat merujuk tentang urgen tidaknya seseorang membutuhkan bantuan.

Aku bersyukur, ditengah ketidakmampuan finansial yang aku alami, masih diberi kesempatan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
Pembelajaran apa yang aku dapatkan dari aktifitas itu?
  • Bahwa untuk peduli kepada siapapun tidak harus ditunjukkan dalam bentuk materi, meskipun idealnya adalah solusi yang menyeluruh, tanpa mengabaikan faktor-faktor edukasi. Membantu sambil memberikan pemberdayaan.
  •  Dengan sudah menyatakan kepedulian, kita tidak boleh merasa lebih dibandingkan dengan siapapun.
  • Kepeduliandan berbagi  adalah pembelajaran hidup yang  esensial
  • Bahwa sesungguhnya kebahagiaan tertinggi adalah peduli lalu memberi
Mari, selagi masih ada umur, peduli dan  berbagilah

Minggu, 25 Januari 2015

KEB, Kukenal dan Kusayang

Dunia menulis bukan dunia asing bagiku, karena sejak kecil, aku terbiasa menyaksikan ibu dan ayahku mengetukkan jarinya di mesin tulis -- atau jaman dahulu namanya mesin tik --, maka sejak remaja aku sudah berusaha menulis.
Kegiatan menulis kujalani dengan suka hati sampai selesai kuliah, merasakan kebahagiaan ketika karya dimuat di media, dibaca dan bermanfaat bagi banyak orang.
Pernah membuat blog, dan tidak pernah diaktfikan lagi, karena aktifitas di pedesaan, dan merasa belum ketemu dengan orang-orang penyuka kegiatan menulis.
Sempat terhenti sangat lama, karena satu dan banyak hal, semangat  menulis datang lagi saat aku menikah dan pindah ke kota Bogor tiga tahun silam.
Ditengah kesendirian tanpa kawan, tanpa kenalan, tanpa kerabat selain suami dan keluarga, aku mulai mencari berbagai kegiatan lewat jejaring sosial.Lama kelamaan mengetahui berbagai informasi tentang komunitas kepenulisan, salah satunya KEB.
Sambil belajar blog, berusaha membuat postingan, bertanya ke beberapa saha
bat baru yang kukenal lewat jejaring sosial, tentang blog.

Meskipun demikian, aku belum PD juga untuk bergabung ke KEB, karena merasa blog ku belum bagus, jadi hanya mengamati saja. Ketidak PDan lain aku merasa usiaku sudah tidak muda dan lihat kawan-kawan di KEB yang masih muda-muda, pinter jadi makin malu.
Satu kali aku diajak teman ikut halal bihalal KEB di Depok, disanalah kurasakan suasana riang, kekeluargaan yang hangat.

Meskipun baru sekali ketemu, perbincangan tak ada sekat sama sekali, bahkan meeka juga tidak tahu kalau aku belum gabung di KEB hehehe. .Dari sanalah aku merasa, tak ada salahnya aku gabung, karena aku merasa mereka ibu-ibu muda yang ramah, akomodatif dan mudah menerima kawan baru.
Makin sayang saja sama KEB, setelah even-even tertentu, sering ketemu beberapa anggotanya, aku merasa menemukan rumah baru yang homy.
Percaya tidak, kalau komunitas emak smart ini perlahan mengurangi rasa sepiku karena jauh dari keluarga, yang pasti di KEB kuperoleh banyak ilmu dan energi.
Kini, aku menulis lagi, terimakasih KEB, I luv u

Jumat, 23 Januari 2015

Cerita Kecil Tentang Kucing

Aaah, kucingku pulang, hatiku senang, kaya ungkapan anak kecil ya.
Sejak remaja, aku menyukai kucing, entah kenapa kalau melihat kucing hati rasanya tersentuh, apalagi kucing kurus-kurus yang berkeliaran di berbagai tempat.
Kucing luar aku juga suka, namun mereka bernasib lebih mujur dibanding kucing pribumi, yang cenderung lebih banyak dijindari, dibiarkan dan bahkan dibuang. Meskipun banyak komunitas pecinta kucing kampung, namun jumlah komunitas semacam ini yang terbatas tentu tak bisa menangani kucing-kucing yang demikian banyaknya.

Mungkin kesukaanku pada kucing lokal, karena selain aku memang menyukai hewan, juga lebih kepada pemihakan kepada yang tersia-sia, cieee bahasanya.
Sehingga, saat satu malam ditengah hujan deras, kudengar suara kucing kecil yang mengeong-ngeong, jatuhlah iba hati ini. Kumasukkan kucing kedalam rumah, kubersihkan dan kuberi makan. Niat hanya ingin memberi tumpangan semalam jadi batal karena si kucing tetap saja mengeong di seputar rumah. Akhirnya kupelihara juga kucing itu hingga saat ini.


Maka ketika kucingku berkeliaran lama sekali hampir sebulan tak pulang, tentu saja ada ruang di hati ini yang terasa kosong, ada yang kurang. Setiap keluar rumah, misal ke warung, ke tukang sayur dan laiinya selalu kusempatkan untuk menyusuri lorong-lorong kecil yang kutahu, disanalah kucingku biasanya berada. karena di sekitar kampung itu banyak kucing betina. Pencarianku nihil, tak mendapatkan tanda-tanda jika kucingku ada disana. Meskipun begitu, tetap saja aku masih berusaha mencarinya dengan bertanya pada tetangga kanan kiri, sambil berpesan untuk memberitahu aku jika mereka melihat kucingku -- seperti kehilangan anak saja,-- aku mengajak hatiku tertawa.
Sampai tiga hari yang lalu, tetanggaku sms, kalau kucing itu ada disana, segera saja aku bergegas mengajak ponakan untuk menemui.
Ternyata benar saja, kucingku sedang berada di semak-semak, dan tampaknya tidak mau didekati tetanggaku itu, saat itu kucingku terlihat kurus, mungkin kurang makan. Kupanggil dengan panggilan yang biasa kugunakan untuknya, wooow!, ternyata dia langsung mengeong panjang dan lantang, dan menuju tempatku berdiri, menggesekkan tubuhnya ke kakiku.  Terasa sekali kalau kucing ini masih kenal aku.
Saat kuajak pulang, dia mengeong dan mengikutiku perlahan. Jalannya  seperti masih ragu-ragu, sambil kepalanya menoleh ke sekeliling, seperti berusaha mengenal lagi jalan ke rumah. Benar saja, begitu dia sampai pada jarak sekitar duapuluh meter dari rumah, segera saja dia berlari masuk rumah.
Detik-detik itu benar-benar kurekam dalam pikiran, sampai masuk ke rumahpun dia masih melihat sekeliling, dan langsung merebahkan badannya di lantai ruang belakang.
Bagi pecinta kucing seperti saya, kadang-kadang memang menjadi sentimentil ketika berbicara soal kucing. Bagaimana tidak, di kota yang baru aku tinggali sekitar tiga tahun ini, rasanya hampir di setiap jengkal ada saja kucing berkeliaran.

Melihat kucing-kucing berkeliaran tanpa pemilik, apalagi kucing yang masih kecil, selalu saja hatiku jatuh iba,. namun di sisi lain aku juga tak mungkin membawa mereka pulang ke rumah.
Untuk mengurangi rasa salah dalam hati, setiap berjalan ke luar rumah, aku selalu membawa 'bekal' apa saja yang bisa dimakan oleh kucing-kucing yang kujumpai di jalan. Kadang ikan asin, kadang tulang-tulang sisa, atau apa saja yang sekiranya kucing bisa dan mau memakannya.
Bahkan, kadang-kadang sepulang dari tukang sayur, jika membawa ikan dan ada kucing yang kujumpai terlihat kurus tak terurus, tak sayang kuambil sedikit ikan belanjaan yang kubawa, lalu kuberikan pada kucing itu.
Biarlah kucing-kucing cantik keturunan luar sudah banyak yang menyayangi, aku memilih kucing kampung untuk kupelihara, dan sedikit berbagi dengan kucing-kucing yang berkeliaran diluar sana

Minggu, 20 Januari 2013

Tembang Rindu Untuk Ibu

Entah kenapa, tiba-tiba teringat sosok ibuku yang sudah menghadap NYA, beberapa tahun yang silam. Jika kadang-kadang berusaha mengingat kembali sosok ibu, bukan berarti hati ini tidak ikhlas, jika saat ini ibuku sudah berada di pangkuan NYA. Tentu saja sudah sangat rela, ibu berada di pangkuan NYA, karena setiap sehabis sholat aku selalu mendoakan ibu dan ayahku.
Penyesalan selalu datang di belakang, seperti aku saat ini, menyesal kenapa dahulu waktu ibuku masih ada dan dalam kondisi sehat aku tidak belajar banyak hal dari ibuku, karena ibuku memiliki beberapa ketrampilan. Pada jamannya, aku menganggap ibu perempuan yang hebat, bahasa belandanya sangat fasih, kemampuan ketrampilannya merajut, menyulam, menulis dan lainnya berlalu begitu saja dari perhatianku.
Ibuku suka mengajar, aku masih ingat saat kecil sering ikut ibuku ke desa-desa tetangga, kadang aku digandeng dan adikku minta gendong belakang, ikut ibu mengajarkan pengetahuan, baik pengetahuan umum, maupun agama. Saat usai kemerdekaan, konon ibu juga terjun ke desa-desa, membantu pemberantasan buta huruf.
Sosok ibuku bukan seperti ibu yang dilukiskan di novel-novel, lembut, penuh senyum, welas asih, beliau keras, tegas, idealis, terbuka.
Satu lagi ibuku sangat pandai memainkan harmonika, istimewanya, setiap mendengar lagu baru, ibu akan memainkan harmonikanya dan dalam waktu pendek dia bisa menyanyikan lagu itu dengan harmonikanya, ya, beliau sangat paham not balok.
Semua kelebihan yang dimiliki ibu, bermunculan satu demi satu di pelupuk mata, saat beliau sudah tak ada lagi di dekatku, terasa sekali betapa bodohnya diriku, kenapa dulu tidak mau belajar lebih sungguh-sungguh dari beliau.
Ada semacam penyesalan, kenapa aku dulu tak belajar merajut?, menyulam? dengan sungguh-sungguh? yang paling kusesali, kenapa aku tak belajar not balok? dan kenapa-kenapa lain yang semuanya sia-sia.
Belum lagi penyesalan lain, perasaan bahwa aku belum sempat mengasihinya, merawatnya, dengan maksimal, sangat belum cukup apa yang kulakukan untuk ibuku, untuk orang tuaku, dibanding dengan apa yang sudah mereka lakukan untukku.
Saat ini yang bisa dilakukan hanya mendoakan mereka, semoga Allah SWT mengasihi mereka, sebagaimana mereka mengasihi kami, anak-anaknya saat masih kecil.
Saat manusia memasuki usia lanjut, dia akan cenderung kesepian, kehilangan, dan biasanya dia akan terasa banyak bicara, banyak permintaan, banyak kemauan, rewel, sulit dimengerti, dan sikap-sikap lain yang kadang-kadang bagi sebagian orang, membuat kesal atau bahkan marah.
Saat seperti itu, seorang ibu hanya membutuhkan kawan, untuk menemani, untuk melayani bicara, dan hal-hal sederhana lain. Permintaan sederhana itu terasa menyusahkan dan memberatkan hati, biasanya karena anak yang kurang sabar, dan kurang empati.
Percayalah, saat itu adalah saat terindah, saat itu adalah kesempatan emas, rasakanlah sensasi kebahagiaan yang mengalir di hati kita, saat kita rasakan, betapa gembiranya hati ibu yang sepuh, saat permintaanya dipenuhi, sekecil apapun, sesederhana apapun permintaan itu.
Bersyukurlah dan berbahagialah saat mendampingi ibu yang sepuh, percayalah, kerepotan-kerepotan kecil saat melayaninya, satu saat nanti akan menjadi sebuah kenangan yang teramat manis.
Karena kehilangan ibu, rasanya seperti burung yang sayapnya patah sebelah, ada ruang sangat lapang, dalam hati yang tiba-tiba kosong,., yang ada rasa kehilangan yang amat sangat dan bahkan mungkin rasa sakit.
Maka, taburkan segala keindahan, segala keceriaan semampu yang kita bisa, karena senyuman bahagia di wajah ibu kita, akan meneteskan kebahagiaan juga pada kita.