Minggu, 20 Januari 2013

Tembang Rindu Untuk Ibu

Entah kenapa, tiba-tiba teringat sosok ibuku yang sudah menghadap NYA, beberapa tahun yang silam. Jika kadang-kadang berusaha mengingat kembali sosok ibu, bukan berarti hati ini tidak ikhlas, jika saat ini ibuku sudah berada di pangkuan NYA. Tentu saja sudah sangat rela, ibu berada di pangkuan NYA, karena setiap sehabis sholat aku selalu mendoakan ibu dan ayahku.
Penyesalan selalu datang di belakang, seperti aku saat ini, menyesal kenapa dahulu waktu ibuku masih ada dan dalam kondisi sehat aku tidak belajar banyak hal dari ibuku, karena ibuku memiliki beberapa ketrampilan. Pada jamannya, aku menganggap ibu perempuan yang hebat, bahasa belandanya sangat fasih, kemampuan ketrampilannya merajut, menyulam, menulis dan lainnya berlalu begitu saja dari perhatianku.
Ibuku suka mengajar, aku masih ingat saat kecil sering ikut ibuku ke desa-desa tetangga, kadang aku digandeng dan adikku minta gendong belakang, ikut ibu mengajarkan pengetahuan, baik pengetahuan umum, maupun agama. Saat usai kemerdekaan, konon ibu juga terjun ke desa-desa, membantu pemberantasan buta huruf.
Sosok ibuku bukan seperti ibu yang dilukiskan di novel-novel, lembut, penuh senyum, welas asih, beliau keras, tegas, idealis, terbuka.
Satu lagi ibuku sangat pandai memainkan harmonika, istimewanya, setiap mendengar lagu baru, ibu akan memainkan harmonikanya dan dalam waktu pendek dia bisa menyanyikan lagu itu dengan harmonikanya, ya, beliau sangat paham not balok.
Semua kelebihan yang dimiliki ibu, bermunculan satu demi satu di pelupuk mata, saat beliau sudah tak ada lagi di dekatku, terasa sekali betapa bodohnya diriku, kenapa dulu tidak mau belajar lebih sungguh-sungguh dari beliau.
Ada semacam penyesalan, kenapa aku dulu tak belajar merajut?, menyulam? dengan sungguh-sungguh? yang paling kusesali, kenapa aku tak belajar not balok? dan kenapa-kenapa lain yang semuanya sia-sia.
Belum lagi penyesalan lain, perasaan bahwa aku belum sempat mengasihinya, merawatnya, dengan maksimal, sangat belum cukup apa yang kulakukan untuk ibuku, untuk orang tuaku, dibanding dengan apa yang sudah mereka lakukan untukku.
Saat ini yang bisa dilakukan hanya mendoakan mereka, semoga Allah SWT mengasihi mereka, sebagaimana mereka mengasihi kami, anak-anaknya saat masih kecil.
Saat manusia memasuki usia lanjut, dia akan cenderung kesepian, kehilangan, dan biasanya dia akan terasa banyak bicara, banyak permintaan, banyak kemauan, rewel, sulit dimengerti, dan sikap-sikap lain yang kadang-kadang bagi sebagian orang, membuat kesal atau bahkan marah.
Saat seperti itu, seorang ibu hanya membutuhkan kawan, untuk menemani, untuk melayani bicara, dan hal-hal sederhana lain. Permintaan sederhana itu terasa menyusahkan dan memberatkan hati, biasanya karena anak yang kurang sabar, dan kurang empati.
Percayalah, saat itu adalah saat terindah, saat itu adalah kesempatan emas, rasakanlah sensasi kebahagiaan yang mengalir di hati kita, saat kita rasakan, betapa gembiranya hati ibu yang sepuh, saat permintaanya dipenuhi, sekecil apapun, sesederhana apapun permintaan itu.
Bersyukurlah dan berbahagialah saat mendampingi ibu yang sepuh, percayalah, kerepotan-kerepotan kecil saat melayaninya, satu saat nanti akan menjadi sebuah kenangan yang teramat manis.
Karena kehilangan ibu, rasanya seperti burung yang sayapnya patah sebelah, ada ruang sangat lapang, dalam hati yang tiba-tiba kosong,., yang ada rasa kehilangan yang amat sangat dan bahkan mungkin rasa sakit.
Maka, taburkan segala keindahan, segala keceriaan semampu yang kita bisa, karena senyuman bahagia di wajah ibu kita, akan meneteskan kebahagiaan juga pada kita.

Jumat, 18 Januari 2013

Dengarlah Tangisan Air

Air, itulah yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir di sekeliling kita, gelombang air bah yang menerjang apa saja, yang bernama banjir, itulah yang saat ini memenuhi ruang-ruang bicara masyarakat indonesia, terlebih setelah ibukota dan sejumlah daerah di tanah air benaar-benar dibuat tak berdaya oleh terjangan banjir.
Air, kebutuhan utama makhluk hidup penghuni semesta, tetesanya bak mutiara, setia manggantung di dedaunan setiap subuh tiba, bening, dipandang menyegarkan. Air menyegarkan rasa dahaga, bahkan air membasuh jiwa-jiwa yang letih. Beberapa agama di dunia juga menggunakan air sebagai sarana untuk bersuci. Begitu petingnya air, sehingga hampir tak ada makhluk hidup di dunia yang bisa tahan hidup tanpa air. Tumbuhan, pasti akan layu dan mati kekeringan jika tak disirami air, sebaliknya bunga-bunga akan mekar mewangi dengan disirami air secara teratur.
Lalu, kenapa air menjadi bencana yang mengerikan?
Pesan dari alam sangat terang benderang, bahwa air akan selalu menuju ke tempat yang lebih rendah, anak kecil juga tahu, maka, jika air dihalangi, dia akan mencari jalan sendiri, agar bisa sampai ke tampat yang lebih rendah.
Alangkah baiknya jika semuanya merenung, apakah kita sudah memperlakukan air dengan benar, apakah kita salah satu dari mereka yang menggunakan sungai menjadi tempat pembuangan sampah? hingga semakin sulit mencari sungai yang bening?
Kenapa saluran air kita tutup hanya untuk membangun gedung-gedung bertingkat? kenapa hutan kita babat habis, padahal disanalah air bermukim? bukankah kita sendiri yang selama ini menyakiti air?, mengotori air? mengusir usir air?
Apakah kita tetap akan menyalahkan hujan yang deras, bukankah hujan sudah terukur oleh Yang Maha Mencipta?
Cobalah untuk mendengarkan dengan hati kita, niscaya akan kita dengan bagaimana air merintih, menjerit menangis, karena kebeningannya telah dikotori, tempatnya bermukim dihabisi, tempatnya berjalan menuju samudra dihalangi.
Air hanya melakukan tugas kehidupannya di alam semesta ini, penciptaan air ditugaskan berjalan, terus mengalir menuju samudra, dengan mengalir ke tampat yang lebih rendah, hanya itu. Maka, jika perjalanannya menuju samudra terhalang, menyempit, air tak akan berbalik, dia hanya bisa terus menerjang apa saja yang di depannya
Dengarlah tangisan air
Dengarlah rintih jerit air