Rabu, 25 Februari 2015

Cintaku Pada Buah Lokal

Buah-buahan yang berkualitas, sangat dianjurkan untuk banyak dikonsumsi karena kandungan yang terdapat dalam buah-buahan sangat dibutuhkan tubuh. Kandungan gizi dan vitaminnya merupakan unsur ideal bagi kesehatan tubuh, terutama vitamin karena tubuh tidak bisa memperoduksi vitamin sehingga membuttuhkan vitamin yang banyak terdapat dalam buah-buahan.
Dengan mengkonsumsi buah-buahan maka tubuh akan mendapatkan asupan gizi dan vitamin alami, dengan begitu tidak akan menimbulkan efek negatif.

Saat kecil, orang tuaku sering menyediakan buah-buahan, tentu saja buah lokal, terlebih karena beberapa jenis buah kami tanam dikebun kami. Di kebun kami ada beberapa pohon buah, meskipun tidak banyak jenisnya, seperti buah pisang, jambu air, jambu kluthuk ( istilah untuk jambu batu ), jambu sukun, pepaya, sirsak.

Kamis, 19 Februari 2015

Mimpi Membuat Taman Bacaan

Bermimpi untuk lebih banyak berbagi, karena pernah sekali merasakan, bahwa berbagi itu sangat membahagiakan hati.
Ada berbagai faktor yang melandasi seseorang bermimpi, apalagi kalau mimpi itu adalah mimpi yang memiliki kemungkinan untuk direalisir.
Aku punya mimpi bisa memiliki Taman Bacaan Masyarakat, karena aku menyadari benar betapa buku adalah jendela dunia. Dengan buku kita bisa melihat dan memahami apa saja, dengan buku maka pengetahuan dan wawasan akan bertambah, sehingga rasa dan akal akan terus terasah.
Pada waktu aku belum menikah, aku sudah merintis pendirian taman bacaan bersama beberapa kawan yang memiliki gagasan yang sama.

Imlek di Waktu Aku Kecil

Hari ini, tanggal 19 Februari 2015 bertepatan dengan Hari Raya Imlek, hari raya bagi bagi masyarakat Tiong Hoa, atau sering disebut dengan tahun barunya masyarakat Tiong Hoa.
Aku jadi teringat saat kecil, jika Hari Raya Imlek tiba, maka dirumahku akan banyak makanan, buah-buahan kiriman dari tetanggaku yang Tiong Hoa.
Makanan beraneka ragam seperti biskuit, permen, dan buah-buahan, juga tak ketinggalan kue keranjangnya, menghadirkan nuansa tersendiri, kegembiraan tersendiri, meskipun saat itu kami belum tahu artinya. Seingatku, didesa kami waktu itu disebut Bodo Cino artinya kurang lebih bodo = Ba'da = lafal Jawa untuk Lebaran, Cino = Cino. Pengucapan kata Bodo disini sama dengan pengucapan kata lara = sakit.
Biskuit, permen maupun buah-buahan hantaran itu, bagi kami masyarakat desa, adalah barang yang nyaris tak pernah terhidang di meja kami, karena harganya yang mahal dan untuk mendapatkannya harus pergi ke kota Semarang.

Rabu, 18 Februari 2015

Ayo Belajar Cara Makan

Bagi survivor kanker sepertiku, memikirkan kesehatan menjadi hal yang paling penting dalam hidup. Berusaha memilih apa yang masuk ke dalam badan, menjadi prioritas dibandingkan dengan sekedar memanjakan lidah dengan sensasi rasa.
Mungkin sudah sangat banyak pembahasan mengenai berbagai macam pola makan sehat, tulisan ini hanya sekedar berbagi pengalaman pribadi, semoga bermanfaat.
Meskipun belum sempurna, aku berusaha mengkonsumsi makanan yang sehat, terutama kalau berada di rumah. kalau sudah berada diluar rumah, misalnya ada acara keluarga, acara bersama sahabat dan laiinya, tentu kita harus menyesuaikan pada kondisi dan situasi yang ada. Mungkin kadang-kadang kita bisa memilih sesuai kemauan kita, namun bagaimanapun makan diluar rumah, bukan kita yang memegang kendalinya.

Selasa, 17 Februari 2015

Tembang Tukang Pindang

Mungkin karena aku sudah tak punya orang tua, dan aku hidup jauh dari keluarga sanak dan kerabat -- kecuali suami dan ibu serta adik-adik suamiku -- akhirnya sering sekali ingat berbagai peristiwa masa kecil, masa remaja dan masa sebelum berada di kota Bogor ini.
Tidak dengan sengaja memanggil kenangan, hanya setiap ada peristiwa, selalu saja membawaku ke kejadian yang sudah kulewati.
Waktu masih sekolah di SD sampai SMP, setiap hari Minggu, aku selalu diminta ibuku untuk berbelanja ke pasar, baik belanja sayur dan lainya untuk dimasak, maupun sekedar beli jajanan pasar. Aku tentu saja merasa senang dengan aktifitas ini, karena hanya bisa kulakukan saat libur sekolah saja.

Senin, 16 Februari 2015

Ratu Malam yang Beraroma Wangi

Sudah sejak lama penasaran dengan bunga wijayakusuma, yang katanya mekar hanya beberapa saaat saja, itupun ditengah malam. Bunga yang memiliki nama latin Epiphyllum oxypetalum ini konon datang dibawa oleh para pedagang dari negeri Cina yang mendatangi nusantara.
Mungkin, karena mekar hanya di malam hari, bunga ini ada yang menyebutnya bunga misterius, bahkan karena itu pula bunga ini melahirkan berbagai macam mitos.
Dahulu benar-benar tidak percaya, masa sih ada bunga kok mekar hanya sekian menit atau bahkan ada yang bilang hanya sekian detik, uuups, bener-bener tidak  percaya.
Saat masih kuliah dahulu kala, bapak kost memiliki bunga wijayakusuma, namun selama sekian tahun kost, aku belum pernah sekalipun melijhat dengan mata kepala sendiri mekarnya bunga wijayakusuma, hehehe, semakin penasaran.

Minggu, 15 Februari 2015

Bagaimana Curhatmu?

Adakah teman kita  yang suka menceritakan problem mereka? pasti ada ya, atau apakah kita yang kadang-kadang menceritakan problem kita?
Bahasa populer sekarang curhat, tentu kadang-kadang kita lakukan atau juga kadang-kadang kawan kita yang curhat kepada kita.
Kebetulan ada masa dimana aku sering sekali menjadi tumpuan bagi sekelilingku untuk curhat, aku juga tidak tahu alasannya, hanya aku merasa berarti. sebagai sahabat aku dipercaya utnuk mendengarkan persoalan-persoalan mereka.
Kadang-kadang bahkan persoalan yang berada diluar wilayah realitaku, misalnya aku dicurhati masalah problem rumah tangga saat aku belum menikah dan ini tidak hanya seorang kawan saja, tetapi beberapa kawan menceritakan kisah rumah tangga mereka.

Sabtu, 14 Februari 2015

Sepenggal Kenangan di Sela Senja

Berbincang tentang menulis, sebenarnya  bagiku bukan sesuatu yang baru. Ibarat kata, aku kenal menulis sejak masih kanak-kanak, atau mungkin malah sejak dalam kandungan, heheh, berlebihan ya?. kenapa aku sebut sejak dalam kandungan? karena ibu dan ayahku memang memiliki kegemaran menulis, aku sebut kegemaran karena di masa aku masih bayi, tulisan mereka hanya disimpan ddan dikumpulkan saja, jadi tidak dikirim ke media massa dan mendapatkan imbalan.
Menulis tak bisa dipisahkan dengan membaca, sehingga orang yang suka menulsi bisa dipastikan dia juga suka membaca.
Di rumah orangtuaku, buku ada dimana-mana. Di almari depan, di ruang tengah, di meja makan, bahkan di kamar tidur. Meskipun ada almari besar khusus untuk menyimpan buku bacaan, namun, pemandangan penuh buku terhampar di rumah orangtuaku. Orangtuaku sangat menyukai kegiatan membaca, membaca apa saja. buku sejarah, buku seni, novel penluis-penulis terkenal dimasa itu.

Membaca, ya itu yang sangat terekam dalam ingataanku tentang kedua orang tuaku. Masih sangat kuingat, saat kanak-kanak aku menyaksikan bagaimana ke dua orangtuaku tak pernah lepas dari tulisan. Pagi hari menikmati sarapan, didepan mereka sudah ada koran, siang hari juga selalu diisi dengan membaca, bahkan sampai saat mereka berada di kamar kecilpun selalu membaca. Malam hari, dengan penerangan lampu minyak kecil di meja di sisi ranjang, juga tersedia bacaan.
Setiap malam menjelang tidur, mereka bacakan buku-buku dongeng -- waktu itu yang populer dongeng-dongeng karya HC Andersen --.
Aku tidak dipaksa belajar membaca, tetapi biasa melihat pemandangan orang yang sedang membaca, akhirnya aku juga tertarik dan suka membaca
Kompasiana.com

Saat aku menjelang remaja, orang tuaku mulai mengirimkan karya mereka ke beberapa media,mereka menulis diatas mesin tulis/ mesin ketik, lalu mengirimnya melalui jasa pos.
Dari dunia kecil itulah aku mulai kenal kebiasaan menulis, karena sangat intensnya budaya membaca dan menulis di keluargaku.
Setiap pulang dari kota -- rumahku berada di desa-- oleh-oleh yang dibawa ayahku lebih banyak oleh-oleh buku dari pada oleh-oleh jajan, bahkan aku dan saudaraku kadang-kadang sampai berebut buku.
Kedua orang tuaku memiliki cara unik untuk mengenalkan kepada kami menulis untuk media massa, mereka tunjukkan terlebih dahulu, bahwa jika karya kita dimuat di media akan menghasilkan kegembiraan.

Satu saat ayahku membawa sebuah majalah anak-anak, dan ditunjukkaannya bahwa ada dongeng yang dimuat di mejalah itu dan nama penulisnya persis dengan namak, . tentu saja aku heran, kaget, takjub dan senang pastinya. Takjub sekali, karena melihat namaku tercetak disana, sampai tak jemu-jemu memandangi tulisan itu, terutama memandangi namaku, wuuuuh, serasa melayang.
Tentu saja itu bukan karyaku, itu karya ayahku yang dikirim ke majalah anak-anak itu dan ayahku menggunakan namaku sebagai penulisnya. Aku tahu, dan setelah dewasa mulai memahami maksut ayahku tersebut. Kurang lebih maksut ayahku adalah
  •  Membudayakan kebiasaan membaca, sekalipun dengan fasilitas yang terbatas, seperti penerangan yang hanya dengan lampu minyak.
  •  Mengenalkan dunia menulis pada anaknya
  • Memberikan rasa gembira melalui menciptakan karya
  • Mendorong anaknya agar mau belajar menulis dan meningkatkan minat baca, baik kuantitas maupun kualitas.
     
    kompasiana.com
Saat aku beranjak remaja, aku ingat kata-kata alm ayahku :"Kewajibane bapak, itu membuat kamu dan saudara-saudaramu suka membaca, sudah berhasil, sekarang ditingkatkan sendiri kualitas buku yang kamu baca." Duuh begitu dalamnya kalimat itu, bagaimana seorang ayah membuat fondasi mental untuk anaknya.

( Sepenggal Kenangan yang Kutulis di Sela Senja )

Sabtu, 07 Februari 2015

Mencintai Diri Sendiri dan Bahagia Dalam Cobaan

Aku pernah mengalami saat-saat terburuk dalam hidup, bahkan menurutku, kejadian-kejadian buruk dalam hidupku sangat banyak.
Di waktu aku sudah memulai pekerjaan dengan posisi yang bagus, tiba-tiba ibuku jatuh sakit, sakit serius dan harus keluar masuk rumah sakit dalam jangka waktu yang lama.  Kondisi itu membuatku harus meletakkan pekerjaanku dengan berganti menjadi pendamping ibu selama pengobatan yang berjalan sekitar dua tahun. Lelah, sedih, bingung, membuatku menjadi nyaris frustasi. Menemani ibu yang berusia lanjut menderita sakit parah bukan hal yang mudah, hari-hari yang panjang berinteraksi dengan obat, dokter, para medis, dan sekaligus memikirkan masa depanku yang aku rasakan menjadi redup. Aku mendampingi beliau sampai di akhir hayatnya.

Kesedihan mendalam, penyesalan, rasa kehilangan, menderaku dan keluargaku, apalagi aku merasa belum sedikitpun pernah memberikan kebahagiaan buat beliau, merasa kenapa begitu cepat aku harus kehilangan sosok ibuku.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, akupun melanjutkan aktifitasku sampai aku mendapatkan pekerjaan lagi, sehingga perlahan namun pasti aku bisa menata hidupku kembali. Namun, baru saja bekerja sekitar dua tahun, ayahku diserang sakit serius yang mirip dengan sakit ibuku, dan kembali aku harus melepaskan pekerjaanku.
Lelah, kesal, marah, dan sedih menghadapi berbagai situasi itu. Sedih sekali karena melihat ayahku yang jatuh sakit, kesal dan marah pada situasi yang menyebabkan aku harus melepas pekerjaanku kembali, dan lelah sekali karena merasa hidup hanya berisikan masalah demi masalah.
Kali ini aku tak bisa tenggelam dalam kesedihanku, karena aku lihat dan rasakan, ayahku membutuhkan pendamping dalam menghadapi sakitnya. Pengalaman menjaga dan mendampingi ibuku mengajarkan bahwa saat mendampingi orang sakit, tak boleh loyo, tak boleh sedih, terutama saat didepan si sakit. Maka akupun membuat diriku menjadi semangat, menunjukkan kekuatan hati saat didekat ayahku. Kami sama-sama tahu, bahwa sakit ayahku tak ada obatnya, namun akhirnya kami saling menguatkan satu sama lain. Tak sekalipun kami bicarakan tentang sakit itu, kami lebih banyak berbincang tentang hal lain seperti berita yang sedang ramai di surat kabar, tentang cucu-cucu ayah, dan yang laiinya. Tekadku saat itu membuat ayah lupa pada sakitnya namun kami tetap mengikhtiarkan pengobatan.

Pengalaman-pengalaman mendampingi orang tuaku saat sakit hingga wafatnya, membuatku 'terdidik'  -- tentunya dididik oleh Allah SWT -- bagaimana berdamai dengan diri sendiri. Tidak mudah dan berat, namun aku sadar dalam hidup ini kadang kita dihadapkan pada situasi yang mau tidak mau, suka tidak suka, dan tak bisa mundur lagi sehingga HARUS dihadapi, apapun resiko yang menghadang.
Lantas bagaimana cara berdamai dengan diri sendiri?
  • Hampir semua manusia tak pernah siap saat cobaan tiba-tiba datang, maka aku selalu mencoba belajar dari pengalaman, mengenal diri sendiri lebih banyak dan lebih dalam lagi. Misalnya, aku kenal diriku yang dulu adalah yang pemurung, mudah tersinggung, introvert. Ternyata sifat macam itu sangat tidak produktif saat masalah datang. 
  •  Mengenali diri sendiri, berarti kita menerima semua yang ada pada diri dan masalah yang datang sebagai sebuah kenyataan. Misalnya, saat masalah datang, ya tidak boleh berpura-pura tidak ada masalah, karena hanya akan membuat kita menipu diri sendiri, dan tak bisa mengambil keputusan.
    Keberanian mengambil keputusan akan datang dari pengakuan bahwa memang ada masalah yang harus dihadapi.
  • Dengan mengenali diri sendiri lebih baik lagi, kita akan tahu kekurangan dan kelebihan kita. Apa yang membuat kita sedih, tersinggung, atau marah. Sebaliknya, kita kenali juga apa yang membuat kita senang, gembira atau bahagia. Kekurangan kita, sebisa mungkin kita benahi, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tidak positiv. Sebaliknya, karunia Allah SWT yang berupa kelebihan, harus dieksplor semampu kita. Sesudahnya tentu kita akan semakin bersahabat, semakin dekat dan semakin menyayangi dan mencintai diri kita
  • Berdamai dengan diri sendiri adalah juga kemampuan berfikir fleksibel yaitu bahwa kita dan orang lain itu berbeda, dan masalah yang dihadapi semua orang juga tak sama. berfikir fleksibel membuat hati dan fikir kita senantiasa lapang. Maka kita akan bisa menangkap hikmah, bahwa bisa saja semua yang terjadi akan mempercepat kita mendekat pada tujuan kita, sekaligus mengembangkan sisi-sisi positiv dalam diri kita.


Misalnya aku di kemudian hari menyadari, mungkin memang aku harus dibombardir dulu oleh masalah, karena ternyata membuatku menjadi lebih kuat menghadapi hidup yang semakin lama tidak semakin mudah. Aku harus 'akrab' dengan rumah sakit, karena beberapa tahun sesudahnya ternyata aku sendiri harus berhadapan dengan meja operasi. Lalu, aku harus kuat menghadapi masalah, karena masalah yang aku hadapi hingga kini bukan masalah yang ringan, setidaknya menurutku.

So, berdamai dengan diri memang sendiri bukan hal yang mudah akan tetapi selama kita mau melatih diri dan belajar dalam hidup ini, tak ada yang tak mungkin. Terus kenali diri kita, bersahabat mencintai diri kita, maka masalah apapun, insya Allah kita akan tetap bahagia dalam masalah, dan  keluar dari masalah dengan elegan.

 "postingan ini untuk mengikuti giveaway echaimutenan"

 

Kamis, 05 Februari 2015

Catatan Kecil Dunia Maya

"Kok, setiap kali saya online, dia selalu tiarap?" tulisan itu muncul di status fb seorang kawan
Ada  lagi kawan yang menulis di fb demikian "Meskipun ini di dunia maya, tetapi aku bisa merasakan kalau  kamu tidak tulus berteman denganku".
Pernah ditanya seorang shabat, apakah aku kenal dan berteman dengan  X ( nama seorang penulis perempuan ), kukatakan kalau akukenal nama itu, tetapi tidak berteman, kenapa dengan dia?
"Mosok to, dia di fb kan ramah, penuh tawa, eh setelah aku in box, tidak direspon, malah dia kesal.
Dia bilang tak mau ngobrol lewat in box karena tidak kenal.



Itu baru sedikit saja saya tulis curhat kawan yang menyampaikan pengalaman  mereka tentang pertemanan di dunia maya, yang ternyata  tak seindah dan seriuh harapan dan khayalan. Asumsi bahwa dunia maya itu sama dengan dunia nyata, bisa jadi meleset, bahkan berkebalikan seratus delapanpuluh derajat, cieee.
Menyapa, berkenalan, berinteraksi lalu menjadi teman yang akarab karena saling memberikan komentar pada status masing-masing ternyata tidak cukup untuk menjadi ukuran sebuah kedekatan. sekali lagi, ini dunia maya.
Itulah jejaring sosial, sebuah dunia tak nyata yang sekarang nyaris menjadi bagian tak terpisahkan dari sebagian besar orang di mana saja.
Jejaring sosial, menurutku unik, unik karena selain bisa berinteraksi dengan beragam bentuk komunikasi dengan kawan yang jumlahnya ribuan, namun tidak semuanya saling mengenal di dunia nyata
Kita bisa menyapa, berkenalan, 'berjabat tangan' dan sebagainya tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Ya, di jejaring, kita bisa saja berinteraksi akrab dengan kawan kita, bersenda gurau riuh rendah melalui simbol-simbol huruf atau gambar,akan tetapi apakah memang demikian senyatanya? bahwa situasi yang ada sama dengan situasi di dunia maya? Kita tidak akan pernah tahu dengan pasti, bagaimanapun satu sama lain terpisah, hanya 'merasa' berhadapan

Kalau yang tampak dipermukaan adalah seperti sebuah ekspresi, ada ekspresi cinta, senang, riang, lucu sampai pada ekspresi sedih, kesal, sakit hati, kemarahan dan laiinya.
Namun apakah itu ekspresi sejati? Bisa iya bisa tidak. Bisa juga memang sedang benar-benar jatuh cinta, sedang bahagia, atau sedang sedihm sedang gundah gulana.
Bisa juga membuat postingan tertawa gembira, tetapi sebenarnya sedang gelisah, membuat postingan senang, tetapi sebenarnya sedang sedih.
Atau sekedar menerakan jempol karena itu etika pertemanan yang tak tertulis, meskipun kadang-kadang kita sedang enggan menerakan jempol, terlebih jika postingan itu tak sesuai dengan prinsip-prinspip yang kita anut.
Atau kita memang menerakan jempol karena apa yang ditulis teman itu patut mendapat jempol?

Itulah uniknya jejaring sosial, kawan yang ada dijejaring tetap tak akan bisa tahu kondisi yang sebenarnya, kecuali pada detik itu ada postingan foto, atau postingan situasi yang tengah adai.Kalau postingan tulisan yang tak menceritakan situasi saat itu, maka tak akan bisa diketahui dengan pasti.
Jejaring menjadi berarti, karena area ini menjadi alat uji bagi kita, sejauhmana kita menulis hal yang memang sebenarnya kita rasakan atau kita fikirkan.
Kenapa menjadi alat uji? karena kita bercanda bersama, tertawa, ngobrol, dengan simbol tulisan dan gambar, akan menjadi ukuran, bahwa kitapun bisa tertawa bersama, dluar jejaring.
Adakah yang mengharuskan? tentu saja tak ada, selain hati kita sendiri yang akan menjadi ukurannya.
Berharap bahwa dunia maya ini sama persis dengan situasi di dunia nyata, tentunya hanya akan membuat kecewa dan bahkan bagi orang-orang tertentu akan menimbulkan sakit hati.
Akan tetapi harapan itu tak salah, karena akan aneh dan lucu ketika di dunia maya begitu akrab, saling melempar gurauan, saling canda, ketika ketemu secara fisik bersikap saling asing, bahkan seolah-olah tak kenal. Cukup ber say hello saja.


Bagi orang-orang yang menumpahkan seluruh perasaan untuk berinteraksi, bagi orang-orang yang terbiasa apa adanya dalam bersikap, maka kesenjangan sikap antara dunia maya dan dunia nyata tentu membuat kecewa, bahkan sedih.
Namun bagi orang yang memang terbiasa easy going, mendapatkan sikap yang berlawanan atau berbeda antara di dunia maya dan di dunia nyata tentu tidak menjadi masalah yang berarti.Lalu, bagaimana baiknya? semuanya kembali kepada diri kita masing-masing, apakah dunia maya atau jejaring ini akan kita posisikan secara berseberangan,  ataukah memang dunia maya dan dunia nyata ini bagi kita sama.
Satu hal yang pasti, bahwa semesta ini sangat luas, apa yang ada pada kita hanya setitik saja, jadi buka mata dan buka hati saja selapang-lapangnya.

Rabu, 04 Februari 2015

Peduli, Tak Selalu Berbentuk Materi

Tantangan mba Ani Berta, bagiku menjadi tidak mudah, karena aku tidak memiliki background pendidikan khusus, bahkan aku merasa tak memiliki ketrampilan apapun. Tetapi, karena menulis sudah menjadi kebutuhan, dan tantangan itu selalu mengasyikkan, ya disambar sajalah.

Saat berada di desa kelahiranku sana, aku aktif di masyarakat, mulai mengajar anak-anak kecil lewat  TPQ, memberi motivasi kepada remaja, membantu sekolah mengisi kegiatan agama sampai mengisi pengajian untuk ibu-ibu muda.

Mungkin karena kegiatan sosial kujalani selama bertahun, tahun, ditambah dengan sifatku yang mudah tersentuh, mudah merasa iba melihat kondisi yang tidak menyenangkan, aku selalu ingin membantu dengan cepat, saat kutemukan seseorang memiliki masalah.

Tentu saja yang aku pedulikan adalah memang orang yang  membutuhkan bantuan, karena tidak semua orang yang memiliki masalah suka dibantu.

Masalah disini bisa apa saja bentuknya, bisa  kekurangan materi, kekurangan akses mendapatkan ilmu, dan laiinya. Semula aku ragu-ragu untuk melakukan berbagai bentuk kepedulian sosial, namun setelah beberapa kali aku buktikan, jika ternyata menunjukkan kepedulian bisa dengan berbagai cara.

Kenapa aku ragu-ragu? karena aku bukan termasuk orang yang memiliki kemampuan finansial cukup,  terlebih lagi aku hidup juga sendirian waktu itu.


Beberapa kejadian yang kusampaikan disini sama sekali tak ada niat untuk pamer, saya ingin berbagi setetes air, betapa menunjukkan kepedulian itu sesuatu yang membahagiakan.

Kisah pertama, saat pengajian anak yang aku ampu bersama beberapa kawan benar-benar tak memiliki apapun, bahkan ngaji dibawah pohon dengan tikar sobek, akupun cari akal. Kusurati beberapa media massa nasional, kuceritakan kondisi pengajian anak itu.

Alhamdulillah tak lama kemudian respon bermunculan dari berbagai tempat, mereka, orang-orang yang tidak kami kenal, mengirimkan dana, sehingga pengajian kami bisa berjalan dengan semestinya.

Bisa membeli buku Iqra', membuat beberapa kursi, dan bisa membenahi ruangan yang pantas, untuk kegiatan mengaji itu. Bahkan ada seorang donatur dari Jakarta yang setiap bulan mengirimkan dananya agar digunakan sebagai biaya operasional.

Kisah lain, aku bertetangga dengan sebuah keluarga yang kurang mampu dengan dua anak perempuan, anak yang kedua, sejak SD hingga SMU, tidak pernah memperoleh ranking dibawah satu.

Selalu saja ranking satu, meskipun belajar hanya menggunakan lampu minyak, makan sangat apa adanya, karena penghasilan orang tuanya yang tidak banyak.

Saat anak itu lulus SMU dan kutanya tidak akan melanjutkan karena bingung dengan biayanya.

Perasaanku seperti tidak terima, karena anak itu selain pandai, ibadahnya bagus, punya kemampuan leader ship oke, keperibadiannya juga sederhana, dimataku, anak ini istimewa. Aku tak bisa membiarkannya tidak melanjutkan sekolah karena ketidakmampuan finansial, namun aku juga tak mampu untuk membiayai dia.

Kembali aku berkirim surat ke media massa nasional, kuceritakan kondisi anak itu, bahkan aku bersedia mengirimkan copian raportnya sejak SD hingga SMU. Alhamdulillah, berbagai tawaran bertubi-tubi menawarkan bea siswa, menjadi anak asuh dan laiinya.
Anak itu tidak yakin, kalau para donatur itu akan mendanainya hingga kahir, dia selalu saja ragu.

Namun aku tak berhenti memberinya semangat, untuk terus maju.
Alhamdulillah akhirnya dia bersedia, dan aku dampingi mulai dari pandaftaran sampai mencari tempat untuk kost.

Akhirnya selain bisa kuliah, dia juga menjalin hubungan persaudaraan dengan salah satu donaturnya. Tawaran dari donaturnya untuk melanjutkan ke jenjang S2 dan akan diberi usaha, ditolaknya.
Menyelesaikan S1 dengan cepat, saat ini dia sudah menjadi sarjana, dan mengajar di sebuah SMP Negeri.

Ada lagi kisah aku jalan-jalan diseputar desaku, dan menemukan seorang ibu dari keluarga tak mampu menderita penyakit ( aku lupa, entah gagal ginjal, entah tumor ) hingga perutnya membesar dan badannya sangat kurus. Anaknya ada lima dan suaminya entah ada dimana.

Aku langusng menemui kepala desa, dan kuceritakan kondisinya. Aku hanya bilang pada bapak kepala Desa, mungkin sakitnya tak akan sembuh, namun tolong diberikan perhatian, setidaknya dibawa ke Rumah Sakit. Keesokan harinya, ibu itu sudah dirawat di Rumah Sakit.
Bahkan saat ini, meskipun domisiliku sudah sangat jauh, aku masih membantu koordinasi dana, dari seorang kerabat, dibagikan kepada para dhuafa', dengan menjadi tempat merujuk tentang urgen tidaknya seseorang membutuhkan bantuan.

Aku bersyukur, ditengah ketidakmampuan finansial yang aku alami, masih diberi kesempatan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
Pembelajaran apa yang aku dapatkan dari aktifitas itu?
  • Bahwa untuk peduli kepada siapapun tidak harus ditunjukkan dalam bentuk materi, meskipun idealnya adalah solusi yang menyeluruh, tanpa mengabaikan faktor-faktor edukasi. Membantu sambil memberikan pemberdayaan.
  •  Dengan sudah menyatakan kepedulian, kita tidak boleh merasa lebih dibandingkan dengan siapapun.
  • Kepeduliandan berbagi  adalah pembelajaran hidup yang  esensial
  • Bahwa sesungguhnya kebahagiaan tertinggi adalah peduli lalu memberi
Mari, selagi masih ada umur, peduli dan  berbagilah