Senin, 05 Februari 2018

Memuliakan Orang Tua, Berarti Memuliakan Diri Sendiri

Sore itu ibu mertua minta ditemani ke rumah adik iparku, harinya padahal mendung. Tapi aku memahami, mungkin beliau kangen sama adik suami aku itu.

Memasuki perumahan yang dihuni adikku, tampak sebuah rumah yang di depannya memasang bendera kuning, tanda bahwa di rumah itu terjadi peristiwa kematian.

Kami lewat saja karena enggak kenal, namun selintas aku sempat melihat beberapa karangan bunga yang berukuran besar, dalam jumlah yang cukup banyak.

Sumber gambar, Pixabay

Di antara karangan bunga itu, sempat terbaca pengirimnya adalah seorang Menteri, lalu ada lagi yang dikirim Dirjen sebuah kementerian, dan beberapa karangan bunga yang pengirimnya adalah orang-orang yang terpandang di masyarakat.

Apa yang kamu bayangkan melihat karangan bunga itu? pastilah yang wafat orang besar, orang berpangkat, orang yang punya pergaulan dengan kalangan atas.

Lalu mungkin muncul kesimpulan, "orang ini pasti hidup senang ya, banyak uang, punya jabatan, kenalannya juga para pejabat."

Pemikiran itu muncul, karena lazimnya orang yang berkedudukan adalah orang yang hidupnya senang, gembira, bahagia.



Sumber gambar Pixabay



Tak Selamanya Harta dan Jabatan Membahagiakan



Di rumah adikku, aku menanyakan siapa yang wafat di rumah di depan itu, kok ada karangan bunga dari satu kementerian. "Pejabat ya yang wafat?" tanyaku pada adikku.

"Kok ada karangan bunga dari seorang Menteri dan karangan bunga lain dari kantor Kementerian, siapa sih yang wafat?" tanyaku pada adikku
"Iya bude, memang beliau kerja di Kementerian itu", kata adikku. 
"Ooh, sakit apakah?", "Udah umur lansia ya?", tanyaku.

Lalu mengalirlah cerita tentang almarhumah yang aku menganggapnya  sebagai  orang yang sukses dong. Bagaimana enggak sukses? jabatan tinggi, rumah mewah, pasti bahagia selama hidupnya. Setidaknya semua  kebutuhan hidupnya bisa terpenuhi kan?

Tapi cerita adikku membuatku merasa nyesek di dada, ternyata kisah hidup almarhumah, terutama di akhir-akhir hidupnya tak seindah yang aku duga.

Ibu ini punya dua orang anak, dan mereka sudah menjadi anak sukses, seorang anaknya menjadi dokter, yang juga membuka praktik klinik kecantikan, masih di kota yang sama.

Seorang anaknya lagi juga berada di kota yang sama, dengan profesi yang membanggakan juga.

Tapi apa coba? ibu ini hidup sendirian, dan hanya  ditemani seorang sopir dan seorang pembantu di akhir hidupnya.

Selama beberapa bulan sakit stroke, kondisi nggak bisa jalan, hanya dilayani oleh dua orang pekerjanya.

Di dalam rumah, segala keperluannya dilakukan oleh mereka berdua. Mulai menyiapkan keperluan untuk makan, mandi, dan lainnya.

Setiap akan kontrol ke dokter, sopirnyalah yang menggendongnya ke mobil, membawakan kursi rodanya. Nanti tiba di klinik dokter, sang sopir menyiapkan kursi rodanya, lalu menggendongnya, dan mendudukkan si ibu di kursi roda.

Bisa kan membayangkan? seorang ibu yang sudah sepuh, sakit, tapi hanya ditunggui oleh orang lain.

Orang dalam kondisi sakit, itu biasanya akan mengalami penurunan mental, baik oleh rasa sedih, rasa sakit yang dideritanya. Dalam kondisi demikian hatinya  akan  merasa tenang jika orang-orang yang disayanginya berada di dekatnya.

Bisa saja ke dua anaknya sibuk dengan pekerjaan mereka, aku juga tak mau menghakimi anak-anaknya. Hanya, alangkah indah hari tua ketika merasakan betapa anak-anak yang dilahirkan, dibesarkan, diasuh, dididik, hadir di dekatnya saat-saat dirinya tak berdaya.

Di desa kelahiranku sana, ada juga kisah yang kurang lebih mirip dengan kisah di atas, seorang ibu yang saat akhir hidupnya hanya bersama perawat yang dibayar anaknya untuk merawatnya.

Sebut saja ibu A, yang menjanda sejak anak pertamanya masih SMP dan anaknya yang ke empat masih kecil.

Selama puluhan tahun, ibu A nggak menikah, hanya fokus membesarkan anaknya, 4 anak laki-lakinya.

Kegigihan ibu A untuk membesarkan anaknya tidak sia-sia. Berdoa tiada henti, berdagang siang malam untuk menyekolahkan anaknya ternyata membuahkan kesuksesan.

Anak pertama sempat beberapa kali menjadi duta besar, sementara 3 anaknya yang lain juga menduduki jabatan yang bagus di perusahaan terkenal di ibu kota.

Suatu saat ibu A menderita sakit, komplikasi dan harus di rawat di rumah sakit, bergantian anaknya memberikan bantuan dana agar ibunya dirawat di rumah sakit yang bagus.

Sementara si ibu, kepengin di rawat di rumah saja, mungkin merasa dirawat di rumah sakit juga percuma.

Akhirnya, si ibu dikembalikan ke desanya, sebuah desa kecil dan hanya ditemani seorang perawat saja.

Hampir setiap pagi si ibu menangis, sambil memanggil-manggil anak-anaknya, semua anaknya dipanggil.

Sesekali anaknya datang juga ke rumah ibunya, namun hanya beberapa saat saja, karena mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama.

Akhirnya, di satu pagi yang sangat dingin, si ibu meninggalkan dunia fana ini tanpa ditunggui oleh seorangpun dari anaknya. Bahkan perawat yang bersamanyapun tidak berada di sisinya tepat saat ibu ini menghembuskan nafas terakhir.

Kematian adalah takdir yang pasti bagi setiap yang hidup di dunia ini, kapan waktunya, itu sepenuhnya rahasia Ilahi.

Kembali, aku tak ingin menimpakan kesalahan pada anak-anaknya yang mungkin sibuk dengan pekerjaannya.

Tetapi terasa bahwa kebahagiaan orang tua bukan hanya karena banyak anak, anaknya sukses finansial, atau anaknya pejabat semua. Bagaimana anak memperlakukan orang tua dengan baik, itulah kebahagiaannya.


Masa tua itu menuju kesendirian



Tapi ayuk mencoba empati pada situasi dan kondisi seorang sepuh yang sakit parah dan kesepian.

Meskipun tidak disampaikan secara lisan, tetapi jauh di lubuk hatinya, ibu-ibu itu pasti merasakan kesepian dan kesedihan yang mendalam.

Aku masih ingat kata-kata almarhum ibuku beberapa hari menjelang wafat. Waktu itu aku mau keluar sebentar untuk membeli soto ayam yang ibu pengin makan. 

Di rumah ada ART  yang aku titipi sebentar, aku lalu pamit pada ibuku di kamar beliau.

"Buk, sebentar ya, saya beli soto buat makan ibu". Kalau di hari-hari biasa tak ada masalah, tapi saat itu ibuku bertanya. "Aku sama siapa? aku sendirian?", padahal beliau juga tau di rumah ada ART yang siap melayani.

Aku memutuskan untuk menyuruh ART yang keluar rumah, dan aku tetap menemani ibuku, duduk di dekat ranjangnya. Apalagi naluri aku saat itu merasakan bahwa saatnya tak akan lama lagi, suasana kamar ibuku sudah aku rasakan beda.

Bagi yang peka, bisa kok merasakan bagaimana hawa ruang yang dihuni oleh orang-orang yang tak lama lagi akan wafat.

Ibu aku cemas, dan takut ditinggalkan sendirian, itu yang aku tangkap, padahal beliau perempuan pemberani.

Nah, kebayang kan, sudah sepuh, sakit, apalagi kalau sakitnya sakit parah, yang ada kan pasti pengin ada yang menemani, pengin ditemani anak-anaknya, anak-anak yang dibesarkannya dengan cinta.

Sekali lagi aku tak ingin menyalahkan mereka-mereka yang sibuk bekerja, namun cobalah memahami kebutuhan orang tua yang sudah sepuh.

Mereka tak menginginkan pemberian berupa harta, atau barang-barang mewah berkilauan, atau makanan yang sangat enak.

Mereka hanya membutuhkan kehangatan kasih sayang dari orang-orang yang disayanginya, terutama anak-anaknya.

Kita hanya meluangkan hati dan meluangkan waktu untuk berada didekatnya, ngobrol ringan, bercanda, mendengar kata hatinya, telaten mendengarkannya, hanya itu.

Mungkin berat dan tidak mudah ya, apalagi kesibukan kita yang begitu tinggi, waktu yang kayanya terasa pendek, macet di sana sini membuat kita harus hidup penuh  efisiensi.

Tapi cobalah berusaha mengingat apa yang dilakukan orang tua kita selama ini untuk kamu. Kalau tak ingat, bisa mengamati sekitar kita, atau amati diri kita, apa yang kita lakukan untuk anak kita.

Seperti itulah juga yang dilakukan oleh orang tua kita pada kita, sejak kita lahir, tumbuh jadi anak-anak hingga masa dewasa saatnya orang tua melepas kita. bagaimanapun mereka lelah setelah sekian lamanya menjalani hidup, berbuat sebisa mungkin untuk keluarga tercinta.

Jangan sampai menyesal ketika orang tua sudah nggak ada di dekat kita, dan kita belum sempat mendampingi dan merawatnya dengan baik.

Aku yang mendampingi saat orang tua aku sakit, sampai saat ni kadang merasa sedih. Kenapa? karena masih merasa kurang dalam merawat orang tua aku.

Jadi, bagaimana pandai-pandai kita mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan kita, keseharian kita, tanpa mengurangi bakti dan sayang kita sama orang tua.

Bakti anak saat orang tua sepuh adalah merawat dan mendampingi, sama seperti saat kita masih kecil.

Yuk, muliakan diri kita, dengan memuliakan orang tua kita.


22 komentar:

  1. Duh baca tulisan ini sedih saya. Judulnya adalah doa saya buat ibu yang lagi sakit selalu minta Allah muliakan. Belajar banyak dati merawat ibu saya selama 2 tahun. Bukan masalah ikhlas/tidak yang saya temui akhirnya tapi niat. Mohon doa ya bu untuk ibu saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyah, ikut mendoakan ibu mba Gita. Aku merawat ibu dan ayahku ebrgantian dalam jangka 4 tahun mba

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Aku fokus banget baca tulisan ini karena sedang merasakan kurangnya pemberianku terhadap ibu. Rasanya masih kurang aja apapun yang aku berikan untuk dia. Dan bener banget orang tua tuh maunya curhat mulu. Ibuku juga begitu. Thanks mba Tite udah ingetin aku dengan tulisan ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, selalu saja ada kurangnya ya, kalau kita ke ortu. Tapi berusaha maksimal saja deh membahagiakan ortu

      Hapus
  4. Jadi inget Orangtua di Garut, hiksss
    Walaupun mereka gak pernah minta atau menuntut apapun dari anak2nya,tapi sudah kewajiban kami anak2nya untuk dapat memberi yang terbaik. Semoga Ya Rabb.. :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, bersyukur Han, jika masih diberi waktu mendampingi mereka

      Hapus
  5. Duh jadi sedih mbak :(
    Aku jauh terpisah dari ortuku. Malah ada keinginan utk melancong lbh jauh lg, tapi bukan berarti ingin ninggalin ortu sih, hanya ingin menjelajah bumi Allah yg luas ini. Semoga Tuhan senantiasa jaga bapak ibu di sana dan masih kasi saya banyak kesempatan utk berbakti aamiin TFS

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau kondisi harus demikian sih nggak apa mba, bisa kirim doa

      Hapus
  6. Mbak, aku nangis baca tulisan ini. Aku nggak bisa banyak berkomentar selain bahwa memuliakan orangtua itu wajib, apalagi seorang ibu. Wajib pakai banget. Bagi mereka yang masih memiliki orangtua, duh beneran deh jangan sia-siakan waktu dan kesempatan untuk berbakti. Mumpung masih bisa bertemu dengan mereka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, waktu sungguh berharga untuk bisa dampingi mereka

      Hapus
  7. makasih ibu tite sudah diingatkan melalui tulisannya, aku tinggal berdekatan dengan ortuku, hampir setiap hari selalu ke rumah ibuku, sekedar bawain makanan ato biasanya klo mada abis pergi dari mana kudu banget cerita ke ibuku (maklum cucu pertama)

    BalasHapus
  8. Waia, kita sebagai anak harus berbakti sama orang tua ya, seperti mereka menyayangi kita di waktu kecil.

    BalasHapus
  9. Hikss...jadi inget emak yg udh ga ada. Penyesalan selalu datang terlambat. Rasanya sy kurang membahagiakan emak, hikss

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa, samaa mba aku juga merasa kurang merawat orang tua

      Hapus
  10. Aku jadi ngebayangin anak ku nanti bakal memperlakukan aku seperti apa...
    Mungkin tergantung dr caraku memperlakukan mbahnya ya mbak tite
    *Berkaca-kaca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang aku juga sedih kalau ingat orang tua, rasanya belum lama merawat

      Hapus
  11. Aku jadi inget orangtua nih. Aku sengaja dekat tinggal Papah, semenjak mamah berpulang empat tahun silam. Semoga kita selalu sehat dan bisa merawat orangtua yaaa

    BalasHapus
  12. Gak tahan air mataku Mba, baca tulisan ini. Semoga aku tetep bisa ngurus orangtua meski gak lagi serumah. Jasa mereka sungguh tak bisa dibalas dengan apapun.

    BalasHapus
  13. Duh sedih bacanya mbak. :(.
    Merasa masih kurang merawat orangtua

    BalasHapus