Minggu, 09 Januari 2022

Mengenal Tenun Nusantara Lewat Tenun Baduy dan Tenun Flores

Apa sih persepsi kamu tentang perempuan? khusunya tentang ibu? boleh ap[a saja sih, yang pasti kaum ibu memang memiliki peran yang makin mel;uas, enggak melulu sebagai pemegang peran di ranah domestik.

Hari Ibu, iya, Indonesia menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, yang sebenarnya berawal dari sebuah pergerakan perempuan, bukan peran perempuan sebagai ibu semata.

Sekilas tentang sejarah Hari Ibu, yaitu 93 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 22 Desember 1928 perempuan Indonesia menggelar Konggres. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai Hari Ibu. 

Tulisan ini terlambat jika dianggap sebagai tulisan untuk memperingati Hari Ibu, hehe, biasa lah, sok sibuk ke sana dan kemari, akhirnya nggak sempat pegang tulisan, hehe, sok sibuk.

Aku mau sedikit cerita aja soal wastra Nusantara, kenapa wastra jadi topik Hari Ibu kemarin? karena wastra Nusantara di berbagai pelosok negeri ini dihasilak dari jemari seorang ibu.


Koordinator acara, Nury Sibli menyampaikan jika kain-kain tenun itu dihasilkan pengetahuan dengan riwayat yang panjang, lintas generasi, lintas jaman.

Pada kain tenun  itu ada keringat, ada doa dari para perempuan, tradisi yang lahir dari rahim perempuan yang diberi nama tenun.

Wastra dibuat dengan cinta, cinta pada siapa? cinta pada Sang Pencipta, cinta pada keluarga, pada  adat, cinta pada leluhur dan juga cinta pada diri sendiri.

Kalau diamati, saat ini banyak diantara kita yang memilih membeli pakaian yang praktis atau mungkin pakaian yang sedang trend, terutama kaum mudanya.

Itu nggak masalah, dan pilihan yang sah bagi siapapun, tetapi alangkah baiknya jika kita nggak kehilangan pengetahuan akan wastra negeri sendiri yang demikian elok dan beragam.

Ada keinginan membagikan potensi wastra negeri ini, itulah yang melandasi muncuilnya kegiatan Sapa Wastra kali ini, dan dipilih diselenggarakan di bulan Desember, sebagai bentuk peringatan Hari Ibu.

Kali ini, tenun yang diangkat adalah tenun dari Baduy dan Flores,  karena ternyata ada kesamaan antara tenun Baduy dan Flores, kesamaan yang mungkin bisa juga ditemui di tenun suku lain di Nusantara.

Jika diperhatiak dengan teliti, pada setiap tenunan di daerah mememiliki paralel budaya, ada motif yang mirip satu sama lain, bahkan sama.

Misalkan, Baduy memiliki kain aros yang bermotif lurus, Flores juga memiliki sarung dengan motif garis-garis yang disebut lipa' todo.

Songke Manggarai yang bermotif bunga kecil bunga jalanan sebagai motif sarung, di suku Baduy juga menggunakan bunga rumput sebagai motif sulamanb tenunnya.  

Ada kesamaan filosofi, bayangkan Baduy ada di Jawa Barat, Flores ada di jauh sana Indonesia Timur, tetapi jejak kearifan budayanya nggak jauh beda.

Bahkan penutup kepala, ada cara yang sama memakai kerudung, atau kain penutup kepala di berbagai daertah, misal masyarakat Batak menyebut Saong, masyarakat  Karo menyebutnya Tudung. Masyarakat Jambi menyebutnya Tengkuluk, masyarakat Toraja menyebutnya Pa'lullung.

Ada banyak cara untuk melestarikan kain-kain nusantara yang sangat banyak dan beragam, salah stunya dengan mengenakannya, dengan mengenal kearifan di balik kain-kain itu.

1 komentar:

  1. Tenun sekarang udah hampir hilang, ya, dulu padahal masih banyak ditemui di Jawa. Kalau sekarang udah jarang banget, rasanya kalau gak ke Kalimantan sulit banget nyari yang bagus.

    BalasHapus