Aaah, kucingku pulang, hatiku senang, kaya ungkapan anak kecil ya.
Sejak remaja, aku menyukai kucing, entah kenapa kalau melihat kucing hati rasanya tersentuh, apalagi kucing kurus-kurus yang berkeliaran di berbagai tempat.
Kucing luar aku juga suka, namun mereka bernasib lebih mujur dibanding kucing pribumi, yang cenderung lebih banyak dijindari, dibiarkan dan bahkan dibuang. Meskipun banyak komunitas pecinta kucing kampung, namun jumlah komunitas semacam ini yang terbatas tentu tak bisa menangani kucing-kucing yang demikian banyaknya.
Mungkin kesukaanku pada kucing lokal, karena selain aku memang menyukai hewan, juga lebih kepada pemihakan kepada yang tersia-sia, cieee bahasanya.
Sehingga, saat satu malam ditengah hujan deras, kudengar suara kucing kecil yang mengeong-ngeong, jatuhlah iba hati ini. Kumasukkan kucing kedalam rumah, kubersihkan dan kuberi makan. Niat hanya ingin memberi tumpangan semalam jadi batal karena si kucing tetap saja mengeong di seputar rumah. Akhirnya kupelihara juga kucing itu hingga saat ini.
Maka ketika kucingku berkeliaran lama sekali hampir sebulan tak pulang, tentu saja ada ruang di hati ini yang terasa kosong, ada yang kurang. Setiap keluar rumah, misal ke warung, ke tukang sayur dan laiinya selalu kusempatkan untuk menyusuri lorong-lorong kecil yang kutahu, disanalah kucingku biasanya berada. karena di sekitar kampung itu banyak kucing betina. Pencarianku nihil, tak mendapatkan tanda-tanda jika kucingku ada disana. Meskipun begitu, tetap saja aku masih berusaha mencarinya dengan bertanya pada tetangga kanan kiri, sambil berpesan untuk memberitahu aku jika mereka melihat kucingku -- seperti kehilangan anak saja,-- aku mengajak hatiku tertawa.
Sampai tiga hari yang lalu, tetanggaku sms, kalau kucing itu ada disana, segera saja aku bergegas mengajak ponakan untuk menemui.
Ternyata benar saja, kucingku sedang berada di semak-semak, dan tampaknya tidak mau didekati tetanggaku itu, saat itu kucingku terlihat kurus, mungkin kurang makan. Kupanggil dengan panggilan yang biasa kugunakan untuknya, wooow!, ternyata dia langsung mengeong panjang dan lantang, dan menuju tempatku berdiri, menggesekkan tubuhnya ke kakiku. Terasa sekali kalau kucing ini masih kenal aku.
Saat kuajak pulang, dia mengeong dan mengikutiku perlahan. Jalannya seperti masih ragu-ragu, sambil kepalanya menoleh ke sekeliling, seperti berusaha mengenal lagi jalan ke rumah. Benar saja, begitu dia sampai pada jarak sekitar duapuluh meter dari rumah, segera saja dia berlari masuk rumah.
Detik-detik itu benar-benar kurekam dalam pikiran, sampai masuk ke rumahpun dia masih melihat sekeliling, dan langsung merebahkan badannya di lantai ruang belakang.
Bagi pecinta kucing seperti saya, kadang-kadang memang menjadi sentimentil ketika berbicara soal kucing. Bagaimana tidak, di kota yang baru aku tinggali sekitar tiga tahun ini, rasanya hampir di setiap jengkal ada saja kucing berkeliaran.
Melihat kucing-kucing berkeliaran tanpa pemilik, apalagi kucing yang masih kecil, selalu saja hatiku jatuh iba,. namun di sisi lain aku juga tak mungkin membawa mereka pulang ke rumah.
Untuk mengurangi rasa salah dalam hati, setiap berjalan ke luar rumah, aku selalu membawa 'bekal' apa saja yang bisa dimakan oleh kucing-kucing yang kujumpai di jalan. Kadang ikan asin, kadang tulang-tulang sisa, atau apa saja yang sekiranya kucing bisa dan mau memakannya.
Bahkan, kadang-kadang sepulang dari tukang sayur, jika membawa ikan dan ada kucing yang kujumpai terlihat kurus tak terurus, tak sayang kuambil sedikit ikan belanjaan yang kubawa, lalu kuberikan pada kucing itu.
Biarlah kucing-kucing cantik keturunan luar sudah banyak yang menyayangi, aku memilih kucing kampung untuk kupelihara, dan sedikit berbagi dengan kucing-kucing yang berkeliaran diluar sana
Sejak remaja, aku menyukai kucing, entah kenapa kalau melihat kucing hati rasanya tersentuh, apalagi kucing kurus-kurus yang berkeliaran di berbagai tempat.
Kucing luar aku juga suka, namun mereka bernasib lebih mujur dibanding kucing pribumi, yang cenderung lebih banyak dijindari, dibiarkan dan bahkan dibuang. Meskipun banyak komunitas pecinta kucing kampung, namun jumlah komunitas semacam ini yang terbatas tentu tak bisa menangani kucing-kucing yang demikian banyaknya.
Mungkin kesukaanku pada kucing lokal, karena selain aku memang menyukai hewan, juga lebih kepada pemihakan kepada yang tersia-sia, cieee bahasanya.
Sehingga, saat satu malam ditengah hujan deras, kudengar suara kucing kecil yang mengeong-ngeong, jatuhlah iba hati ini. Kumasukkan kucing kedalam rumah, kubersihkan dan kuberi makan. Niat hanya ingin memberi tumpangan semalam jadi batal karena si kucing tetap saja mengeong di seputar rumah. Akhirnya kupelihara juga kucing itu hingga saat ini.
Maka ketika kucingku berkeliaran lama sekali hampir sebulan tak pulang, tentu saja ada ruang di hati ini yang terasa kosong, ada yang kurang. Setiap keluar rumah, misal ke warung, ke tukang sayur dan laiinya selalu kusempatkan untuk menyusuri lorong-lorong kecil yang kutahu, disanalah kucingku biasanya berada. karena di sekitar kampung itu banyak kucing betina. Pencarianku nihil, tak mendapatkan tanda-tanda jika kucingku ada disana. Meskipun begitu, tetap saja aku masih berusaha mencarinya dengan bertanya pada tetangga kanan kiri, sambil berpesan untuk memberitahu aku jika mereka melihat kucingku -- seperti kehilangan anak saja,-- aku mengajak hatiku tertawa.
Sampai tiga hari yang lalu, tetanggaku sms, kalau kucing itu ada disana, segera saja aku bergegas mengajak ponakan untuk menemui.
Ternyata benar saja, kucingku sedang berada di semak-semak, dan tampaknya tidak mau didekati tetanggaku itu, saat itu kucingku terlihat kurus, mungkin kurang makan. Kupanggil dengan panggilan yang biasa kugunakan untuknya, wooow!, ternyata dia langsung mengeong panjang dan lantang, dan menuju tempatku berdiri, menggesekkan tubuhnya ke kakiku. Terasa sekali kalau kucing ini masih kenal aku.
Saat kuajak pulang, dia mengeong dan mengikutiku perlahan. Jalannya seperti masih ragu-ragu, sambil kepalanya menoleh ke sekeliling, seperti berusaha mengenal lagi jalan ke rumah. Benar saja, begitu dia sampai pada jarak sekitar duapuluh meter dari rumah, segera saja dia berlari masuk rumah.
Detik-detik itu benar-benar kurekam dalam pikiran, sampai masuk ke rumahpun dia masih melihat sekeliling, dan langsung merebahkan badannya di lantai ruang belakang.
Bagi pecinta kucing seperti saya, kadang-kadang memang menjadi sentimentil ketika berbicara soal kucing. Bagaimana tidak, di kota yang baru aku tinggali sekitar tiga tahun ini, rasanya hampir di setiap jengkal ada saja kucing berkeliaran.
Melihat kucing-kucing berkeliaran tanpa pemilik, apalagi kucing yang masih kecil, selalu saja hatiku jatuh iba,. namun di sisi lain aku juga tak mungkin membawa mereka pulang ke rumah.
Untuk mengurangi rasa salah dalam hati, setiap berjalan ke luar rumah, aku selalu membawa 'bekal' apa saja yang bisa dimakan oleh kucing-kucing yang kujumpai di jalan. Kadang ikan asin, kadang tulang-tulang sisa, atau apa saja yang sekiranya kucing bisa dan mau memakannya.
Bahkan, kadang-kadang sepulang dari tukang sayur, jika membawa ikan dan ada kucing yang kujumpai terlihat kurus tak terurus, tak sayang kuambil sedikit ikan belanjaan yang kubawa, lalu kuberikan pada kucing itu.
Biarlah kucing-kucing cantik keturunan luar sudah banyak yang menyayangi, aku memilih kucing kampung untuk kupelihara, dan sedikit berbagi dengan kucing-kucing yang berkeliaran diluar sana
Anakku Rafif sudah berbulan2 merengek ingin pelihara kucing, tapi terpaksa tidak aku penuhi keinginannya.Rafif menderita asthma,dia alergi bulu binatang...jadi apa boleh buat terpaksa dilarang. Hiks..
BalasHapusiya mba, dilematis ya mba, mudah-mudahan asthma segera sembuh, trus Rafif bisa sayangi kucing, hehe
Hapustararengkyu mba, sudah mampir
Kucing di foto ini mirip sekali dengan kucing kampung yg di rumah mbak. Nggak resmi milik pribadi tapi sejak lahir sampai sekarang kucing ini tidur dan makan di rumah. Tepatnya di teras depan rumah. Kami hanya memberi mereka makan dan minum setiap hari. Nggak tahu kenapa sejak pindah ke rumah ini nggak pernah seharipun tanpa kucing. Mereka hadir di rumah kami turun temurun
BalasHapusmba Winny, kucing ini dulu waktu masih kecil, nyasar di dekat rumah, aku tolong, maksutku semalam saja, ternyata sampe sekarang dia di rumah.
HapusPenginku bisa kasih makan kucing, diluar rumah saja.
Biar yang satu ini saja yang sudah terlanjur, hehe
Eeh malah sekaramg ada satu lagi, betina, jadi bingung
Makasih mba sudah mampir
kangeen
salam miauuuuu
BalasHapussalam juga mba, makasih ya sudah mampir
HapusTante suamiku juga caty lover seperti dirimu, mba. Sampai punya pet shop mini gitu. kayaknya kalian berdua bakalan cocok deh kalau ketemu hihihi
BalasHapushay mba Ratna, apa kabarnya? kapan ya ketemu lagi?
HapusAku sebenarnya pecinta apa saja mba, cieee, tepatnya pecinta kehidupan.
oow, begitu ya? sip lah, semoga kapan-kapan ketemu beliau ya
Hik! jadi inget si Centeng, si Shukoy, yang sudah mati. Saya sebetulnya tidak mau ada hubungan bathin dengan kucing, karna saat mereka sakit atau mati bikin sedih walau cuma kucing kampung. Tapi herannya datang lagi...datang lagi...
BalasHapusmba Oty, yups persis, sama seperti aku
HapusAku pecinta hewan mba, burung saja aku suka.
Sejak lama aku berniat tak akan memelihara hewan, karena relasi batin itu berat.
Sedihnya lama kalau berpisah.
Tetapi kalau di depan mata si hewan butuh pertolongan, yaa, susyaah ninggal
aku juga punya beberapa kucing kampung mak... asalkan mereka dirawat, makannya baik, tidak sakit.. sama-sama bikin gemes kok :)
BalasHapusmba Widy, hehe iya, hewan yang satu ini, memang membantu kita mengasah rasa ya
Hapusmakasih ya udah mampir mak
akuuuuuuu... :)
BalasHapussi cucuth
seneng rasanyaketemu teman yang sehobi ^^
aaahay, Suria Riza, makasih ya udah mampir di lapak sederhana ini>
HapusIya, kebayang pasti seru kalau kita ketemu ya?