Selasa, 18 Agustus 2015

Asmara Sampek Engtay

Aku masih ingat, waktu kecil aku pernah menyaksikan sandiwara Sampek Engtay versi kethoprak, bersama kawan-kawan di desa kelahiranku. Saat itu aku belum memahami jalan ceritanya, hanya samar-samar aku masih ingat adegan-adegan yang dimainkan oleh para pemainnya.

Kisah Cinta Klasik tersebut sudah diproduksi berulang kali oleh Teater Koma, dan disadur melalui tangan dingin N Riantiarno, sejak tahun 1999 hingga tahun 2015. Rentang waktu yang cukup panjang, namun lakon ini seakan tak pernah lekang oleh waktu, selalu menarik penggemarnya untuk menyaksikan pentasnya lagi dan lagi.

Lakon cerita tetap mengacu pada kisah aslinya, yaitu tentang tragedi cinta dua anak manusia, yang meskipun saling mencintai, namun tak bisa saling memiliki semasa hidupnya.


Alkisah, hiduplah seorang gadis yang bernama Eng Tay ditengah keluarga Ciok yang tinggal di Serang, Banten. Tradisi yang berlaku saat itu, seorang gadis dilarang pergi keluar rumah, bahkan untuk bersekolahpun dilarang. Sekolah hanya untuk anak laki-laki.

Sebagai gadis yang terlahir pandai, tentu saja Engtay merasa bosan dengan kondisi itu, sehingga berbagai daya upaya dipergunakannya untuk meyakinkan orang tuanya bahwa sekolah itu penting baginya, sekalipun dia perempuan.

Dengan kecerdikannya, Engtay menyamar menjadi seorang laki-laki, yang menagih hutang pada keluarga Ciok. Tuan Ciok tentu saja terkejut, karena merasa sudah tak memiliki hutang. Puncaknya, si penagih hutang -- yang adalah Engtay-- mengancam akan memenjarakan tuan Ciok jika tak segera melunasi hutangnya. Sontak, tuan Ciok jatuh pingsan, Engtay tentu saja terkejut sekali, melihat ayahnya pingsan.


"Ayah, ibu, ini aku Engtay". Ratap Engtay penuh penyesalan sambil membuka penyamarannya. Seisi rumah seketika gempar  ketika mendapati ternyata si penagih hutang adalah Engtay. Pada kesempatan itu Engtay kembali meyakinkan orang tuanya bahwa dia akan baik-baik saja, dan dia akan menyamar sebagai laki-laki saat sekolah.

Dengan berat hati, orang tua Engtay melepas kepergian putrinya untuk sekolah di Betawi. Dalam perjalanan menuju Betawi, Engtay berjumpa dengan seorang pemuda  bernama Sampek berasal dari Pandeglang, yang memiliki tujuan yang sama.  Jika Engtay adalah sosok gadis cantik yang cerdik, cenderung bengal dan nekad, maka sebaliknya dengan Sampek, adalah seorang pemuda kutu buku yang sangat lugu dan pemalu, meskipun berwajah tampan.

Adegan lucu mulai ketika Engtay membatasi kasur dengan sehelai benang ditengah-tengah, dan siapa yang melanggar batas itu harus dihukum. Ternyata, yang melakukan pelanggaran adalah Engtay. Penyamaran Engtay berhasil karena tak ada seorangpun yang mengetahui jati diri aslinya.

Lama kelamaan, Engtay mulai menaruh hati kepada Sampek, sehingga pada satu kesempatan disaat melakukan tugas dari guru, Engtay mengakui jika dirinya adalah seorang gadis, sehigga membuat Sampek sangat terkejut.

Api asmarapun tumbuh di hati Sampek, akan tetapi saat mereka sedang dimabuk cinta, datanglah utusan tuan Ciok yang meminta Engtay agar segera pulang ke Banten, dan perintah ayahnya tak bisa dibanttah. Sebelum kembali ke Serang, Engtay berpesan, bahwa sampek harus datang ke rumahnya pada hari yang telah ditentukan. Kesedihan yang mendalam, melingkupi hati dua anak manusia yang sedang dilanda asmara ini.

Karena persepsi akan hitungan waktu antara Sampek dan Engtay berbeda, maka pertemuan yang indah tidak terjadi. Kenyataannya, saat Sampek datang bermaksut melamar pujaan hatinya, Engtay sedang menunggu saat pernikahannya dengan Macun, anak Kapten Liong.

Patah hati membuat Sampek menjadi merana dan menderita sakit berkepanjangan. Hingga akhir hayatnya, cintanya kepada Engtay tidak tergoyahkan.

Tibalah saat iring-iringan pengantin Engtay dan Macun melewati makam Sampek, Engtay keluar dari iring-iringan dan meratapi makam Sampek. Dicabutnya tusuk konde miliknya, dipukulkannya ke makam Sampek.

Terdengar ledakan keras, dan terbukalah makam Sampek. Tanpa pikir panjang Engtay melompat masuk ke dalam makam, diiringi jerit tangis keluarganya. Beberapa saat kemudian, keluarlah sepasang kupu-kupu yang terbang beriringan, dan diyakini bahwa kupu-kupu itu penjelmaan Sampek dan Engtay.
Narsis bersama Tuan dan Nyonya Ciok

Pesan Moral


Disadur dengan  dipoleskan pesan moral melalui dialog maupun narasi para pemainnya seperti misalnya saat Engtay menunggu Sampek dengan narasi seperti ini

"tapi makhluk apa itu kejujuran,
dimana batas jujur dan kebodohan,
atau ketika satu tujuan ditekuni,
yang lainnya jadi tak penting lagi"
( Potongan narasi Engtay )

Lalu petuah sang dalang yang berkata
"maka dari itu, para penonton, jadikanlah setiap lelakon kita sebagai cermin supaya kita bisa semakin mengagumi  bagaimana cara para dewa merangkai berbagai jalinan lakon manusia"

Dalam setiap karyanya, Teater Koma selalu memberikan muatan yang dekat denagn keseharian kita, itulah yang membuat setiap lakon yang dipentaskan selalu relevan dengan jamannya, sekalipun lakon itu dipentaskan berulang kali.
Apa pesan utamanya, adalah bahwa tradisi bisa menjadi sebuah kekuatan yang menguasai,  kekuatan yang tak bisa digoyahkan. Ketika seorang gadis merasa pandai, hebat dan merasa dirinya setara dengan laki-laki, itu adalah pandangan yang berlawanan dengan tradisi. Pada akhirnya kekuatan tradisi pulalah yaitu kepatuhan kepada keluarga yang menjadi pemenang, sekalipun berlawanan dengan kata hatinya.


Sumber Tulisan dan Gambar
  1. Buklet Pertunjukan Sampek Engtay
  2. ice-indonesia.com
  3. Koleksi foto Pribadi

4 komentar:

  1. Hehehe, kalo di serial Sun Go Kong, Sampek Engtay ini termasuk kisah reinkarnasi Tjut Pat Kay yang kesekian ratus kali itu yah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tampaknya iya..mbak. Beginilah Cinta, Deritanya Tiada Akhir

      Hapus
    2. Iya mba, kisah cintanya sih tak berubah, hanya dipoles disesuaikand engan perkembangan jaman
      Makasih yaa, udah mampir

      Hapus
  2. dulu pernah nonton versi chinanya mbak, aku suka banget deh ceritanya. apa karena waktu itu masih kecil yak xp

    BalasHapus