Rabu, 02 Desember 2015

Pola Asuh yang Terlalu Hangat

Pola asuh yang hangat terhadap anak, suatu hal yang positiv, tetapi jika pola asuh terlalu hangat, bisa memberikan efek yang tidak baik bagi tumbuh kembang anak. sebuah pengalaman nyata aku alami , yang terjadi pada kakakku.
Pada awalnya, sakit yang dialami kakakku, kami anggap wajar dan normal saja, tokh siapapun bisa sakit. Namun lama kelamaan hatiku mulai merasa ada yang tak beres, dengan sakit kakakku. Sakit sekali dua kali mungkin wajar, tetapi sakit kakakku, selalu berada pada situasi saat dia bekerja jauh dari kami keluarganya, jauh dari ibu dan ayahku.


Setelah menyelesaikan kuliahnya, kakakku bekerja di sebuah perusahaan penyuplai dan pengadaan alat-alat elektronik untuk hotel-hotel berbintang, sebuah perusahaan besar. Kantornya berada di Jawa Barat, diujung pulau, sangat jauh dari desaku yang berada di lereng pegunungan perahu di Jawa Tengah.

Hasil gambar untuk kasih sayang orang tua

Keluar Masuk Kantor

Sebulan, dua bulan, kakakku betah di tempat kerja, dan pulang menemui keluarganya setiap dua pekan. Entah kenapa, masuk bulan ke empat, dia mendadak sering sekali pulang, dengan alasan sakit. Namun kuperhatikan saat cuti dari kantor, dan berada di rumah, tidak seperti orang yang sedang sakit, karena aktifitasnya normal saja.

Karena sering ijin, akhirnya kakakku keluar dari tempatnya bekerja, lalu balik ke rumah, berkumpul dengan kami semua yang waktu itu masih lengkap. Selain bertemu anak dan istrinya, saat pulang kakakku juga berjumpa dengan ibuku, ayah, aku dan seorang adikku. Kami keluarga kecil, aku bertiga dengan satu kakak dan satu adik.

Berada di rumah, kakakku tak tampak seperti orang sakit, segar bugar, bercanda riang, beraktifitas seperti biasa, terlebih kedua orang tuaku memang termasuk tipe orang tua yang menerapkan pola asuh yang hangat bahkan sampai anak-anaknya dewasa.

Beberapa waktu kemudian, kembali kakakku mendapat pekerjaan yang juga jauh ke luar kota, di perusahaan yang bagus dan dengan gaji yang cukup memadai.

Bekerja beberapa minggu, kakakku kembali jatuh sakit, bahkan sampai mengalami dehidrasi saat menuju pulang ke rumah. Kakaku pingsan di sebuah terminal, dan ditolong seorang tukang beca, dibawa ke rumah sakit terdekat.

Tentu saja kedua orang tuaku panik, hingga menyuruh beberapa kerabat untuk menjemput kakakku ke kota itu, yang jarak tempuh menggunakan mobil sekitar lima jam.

Ketika sampai di rumah, kondisi kakakku tak tampak seperti sakit yang membuatnya hingga pingsan.  Sehari di rumah, kondisinya sudah segar lagi, kembali beraktifitas dan bercanda dengan kami semua.

Satu ketika, kakakku pindah ke luar Jawa, dan bersama keluarganya mereka tinggal di rumah mertua kakakku. otomatis, kakakkupun pindah bekerja di kota tempatnya tinggal. Perusahaan tempat dia bekerja adalah perusahaan besar yang bergerak di bidang ekspor kayu,

Kedua orang tuaku, aku dan adikku tentu saja ayem ( bahasa Jawa: tenang dan lega ), karena kakak sudah bekerja di perusahaan besar, berkumpul dengan anak dan isterinya.

Kembali ke Pelukan Bunda

Ternyata kami keliru, tak berapa lama kakakku kirim surat berlembar-lembar ( waktu itu belum ada handphone, hehehe), yang intinya kepengin pulang saja, tidak betah di luar pulau Jawa, dan lagi-lagi saat kiirim surat dia dalam keadaan sakit.

Ketika kejadian yang sama datang berulang, kita tentu akan menemukan 'sesuatu' yang bisa 'dibaca' ciee kaya penerawangan. 

Aku sampaikan pada ayahku waktu itu, tampaknya kakakku terlalu mudah kasihan pada diri sendiri , sehingga saat ada masalah sedikit saja, sudah merasa menderita. Tersenggol masalah sedikit saja, sudah merasa menajdi manusia yang paling menderita, paling merasa sakit, sehingga perlu dikasihani.

Ayahku diam saja mendengar aku mengeluarkan isi pikiranku. Mungkin nerusaha mencerna maksut dari kata-kataku itu.

Kembali, untuk yang kesekian kalinya, kakakku pulang dari rantau, yang notabene berada di rumah mertuanya. 

Datang dari luar pulau Jawa, sendirian, tentu saja menimbulkan rasa iba di hati kami, karena kembali pulang dalam keadaan sakit, dan menceritakan pada kami bagaimana kehidupannya di luar jawa yang penuh kesedihan, konflik, friksi. Baik dengan kantor temoat dia hekerja ma8upun dengan orang tuanya.

Dengan kejadian itu, orangtuaku mulai mempelajari kejadian-kejadian yang mirip dengan sebelumnya, yaitu kakakku jatuh sakit, saat bekerja jauh dari rumah, jauh dari tempat tinggalnya selama ini.

Tetapi jika bekerja dekat dengan rumah, yang setiap hari dia busa pulang bertemu orang tua kami, dia akan sehat-sehat saja.

Ayahku bergumam padaku dengan mengatakan:" He'e Nef, pikiranmu bener. masmu kuwi terlalu kasihan pada diri sendiri.

Introspeksi Orang Tua

Komentar ibuku sedikit berbeda sudut pandang. Ketika duduk berdua, kami berdiskusi, ibuku mengatakan :" Biar bagaimanapun orang tua ikut andil kenapa anak menjadi demikian rapuh."

Ibuku melanjutkan ceritanya, bagaimana waktu kakakku masih kecil hampir semua orang memanjakannya. Jika orang tuaku memanjakannya, disebabkan kakakku hadir, setelah bertahun-tahun lamanya orangtuaku menunggu kelahiran anak pertama.

Nyaris semua orang disekitar rumah kami mengatakan kalau anak itu ndandake kaya jahitan saja ya, hehehe. atau bahasa medis sekarang mungkin maksutnya diprogram, dan untuk itu juga membutuhkan perjuangan tersendiri. orangtuaku harus pulang pergi menuju tempat prakter dojter itu yang berada di luar desa kami.

Dijaman itu, dokter pribumi juga masih sangat jarang, usaha kedua orangtuaku yang konsultasi dengan dokter Belanda, menunjukkan perjuangan mereka yang begitu mendambakan kehadiran seorang anak.

Ketika lahir anak laki-laki yang berparas tampan, cieee, tentu saja kedua orangtuaku sangat berbahagia, sehingga limpahan kasih sayang dicurahkan dalam berbagai bentuk, salah satunya proteksi yang kuat.

Proteksi dari sesuatu yang dianggap akan berakibat buruk pada anak, selalu menciptakan hal yang menyenangkan bagi anak, sebaliknya menjaga anak dari segala hal yang menyulitkan. Nyaris tak ada keinginan kakakku yang tidak dipenuhi.

Apapun harus dilakukan orang tua, agar anaknya senang. Bahkan sesekali dibelikan benda-benda yang tidak dibutuhkan, seperti berbagai jenis mainan. tentu saja dalam kondisi ruang dan waktu di masa itu.

Lebih parahnya, yang memanjakan kakak laki-lakiku bukan hanya orang tua. Sejak kakek, nenek, paman dan laiinya, sebagian kawan kerja ayahkupun sangat memanjakan kakak laki-lakiku. Dengan pujian, sanjungan, dengan pemberian, dan sebagainya.

Perlakuan semacam itu terus berlangsung sampai kakakku menginjak baligh bahkan sampai dewasa, yaitu kakakku, juga aku dan adikku tak pernah sedikitpun diberi ijin untuk tahu persoalan keluarga. Bagi orang tuaku, kewajiban orang tua adalah menunaikan pengasuhan, pendidikan, memberi anak hak-haknya.

Intinya, kami bertiga benar-benar dijaga dari segala hal yang akan membuat kami terganggu, terganggu belajarnya, terganggu ketenangan pikirannya dan sebagainya.

Sarang yang Terlalu Hangat

Kejadian yang menimpa anak sulungnya, yaitu kakak laki-lakiku, membuat kedua orangtuaku mengevaluasi kembali pola asuh mereka selama ini.

Ibuku mengatakan, seorang anak seharusnya tak boleh diberikan sarang yang terlalu hangat, karena itu akan membuatnya mudah kedinginan saat berada di luar sarang, sekalipun diluar sarang hanya sebentar.

Berikan sarang yang hangat, namun berikan juga pengalaman bagi anak untuk merasakan panasnya matahari, dinginnya angin, dan basahnya hujan.

Akibatnya, sedikit saja anak menemukan permasalahan dalam hidup, dia merasa dirinya mengalami kesusahan, dia kasihan pada diri sendiri, dan ini bisa berlarut-larut.

Ada semacam sensasi tersendiri saat menyedihi diri sendiri, ada kenikmatan memikirkan 'derita' yang dia alami.

Kalimat-kalimat itu, saat itu membuatku merenung cukup lama. Saat ini, saat aku menulis kisah ini, membuatku menangis karena kerinduanku, kerinduan pada guru kehidupanku yang ada di alam sana

Ibuku seorang penulis, setiap berdiskusi selalu begitu deskriptif,  penuh simbol, tetapi mudah dicerna.

Sampai saat ini, kalimat sarang jangan terlalu hangat, sangat kuat menancap di hatiku. Kejadian-kejadian itu membuatku tak pernah berhenti mengagumi ibuku dan kedua orangtuaku.

Saat ini kakakku sudah belajar dari pengalaman masa kecilnya hingga dia dewasa, sehingga memberikan pola asuh yang relativ lebih pas kepada anaknya.

23 komentar:

  1. thanks for sharing mba, mungkin memang yg paling pas tuh seperti yg diajarkan Rasul ya. 0-7 dimanja2, 7-14 dididik disiplin, 14 ke atas diperlakukan seperti kawan berfikir...saya juga jadi belajar nih tapi kayanya saya cukup galak sama anak2 hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mba, mudah-mudahan kita selalu bisa jaga hati dan fikiran ya, supaya nggak keliru asuh anak kita

      Hapus
  2. bener bgt pelajaran buat kita, anak2 perlu tahu pusingnya orangtua, smg mereka lbh empati dan kuat mental

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bener, anak-anak memang kelihatannya lemah di mata orang tua, namun membekali dengan berlatih tentu akan jadi konstribusi positif

      Hapus
  3. Setuju banget dengan pendapat mb Kania, si sulung dah menginjak 7 tahun jadi harus mulai disiplin juga, thanks banget mak dah sharing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, kalau kita nggak tega melulu sama anak, maka anak kita juga yang kelak akan mengalami kesulitan

      Hapus
  4. TFS yah mbak, aku banyak belajar nih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, sama-sama, trims juga sudah berkunjung

      Hapus
  5. sayang boelh..tapi jangan begitu dimanja...., ketika dewasa terbawa-bawa..

    terimakasih udah sharing...pelajaran buat mendidik anak ku...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, trims juga mba, kita saling belajar ya

      Hapus
  6. Bener nih, kejadian adik bungsuku yang nggak bisa jauh dari orang tua. Sama juga alasannya karena adik imbuhan, jadi disayang semua orang. Jadinya dia nggak bisa pisah dari ortuku.

    Makanya aku cukup tegas membimbing anak2ku, agar jangan sampai terlalu nyaman dengan emaknya ini :) TFS ya mbaak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, bener, sejak dini memang sesekali dikenalkan dengan masalah, dengan kesulitan, agar kelak nggak kaget

      Hapus
  7. makasih share ceritanya ya mak, pelajran bgd jg nih bwt daku..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mba, saling belajar ya agar tak salah mengasuh anak-anak disekitar kita

      Hapus
  8. Waa...pembelajaran buat aku nih...tengkyu, mbaaa...:*

    BalasHapus
  9. Ooo.. jadi pola asuh yg terlalu hangat memang beneran sampai dewasa bisa terbawa ya. Terimakasih sharingnya Mba.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, sepanjang yang kulihat di sekitar iya. Kebanyakan balita dimanja, sementara saat itulah yang akan mendominasi memori anak

      Hapus
  10. Setuju sama mba nef, proteksi anak juga ga menjamin dia akan baik-baik saja. Menurutku bekali dia tentang hidup baik dan buruknya bersama dengan saran solusinya. Pendampingan itu perlu tapi bukan disuapin. Nice share mba Nef....aq setujuuhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yess, melatih mandiri akan menjadi bekal berharga kelak saat anak dewasa.
      Sayangnya kebanyakan orang tua kengah akan hal ini, malah memanjakan anak dengan segala cara

      Hapus
  11. iyah sih mbak bener juga, orang tua ku sayang banget sama adik ku yg kedua jadinya dia gak bisa pergi jauh2 dari rumah, kalo aku udah dididik keras sejak kecil jadi mau kelayapan kemana2

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, semua yang diberikan ortu ke anak di usia balita, itulah yang akan tertanam di memori anak.

      Hapus
  12. Kalau dipikir-pikir iya juga ya mbak. Terus kalau udah gede (kondisinya seperti kakanya mbak), cara mengatasinya bagaimana mbak?

    terima kasih sudah diingatkan dan ilmu barunya lagi. Kebetulan saya masih punya adek kecil. Jadi sangat bermanfaat. :)

    BalasHapus