Gaji pertama? kata gaji, menunjukkan penghasilan tetap, pemasukan yang teratur, yang dibayarkan karena kita telah bekerja.
Gaji membawa arti bahwa penerima gaji adalah orang yang bekerja pada sebuah instansi, atau lembaga, atau perusahaan. Karena kalau seseorang bekerja di perusahaannya sendiri, istilahnya bukan gaji, tetapi laba, hahaha.
Aku sampai lupa, gaji pertamaku, bahkan nyaris lupa kalau aku pernah terima gaji, alias aku pernah bekerja sebagai karyawan pada sebuah instansi.
Lembaran lama
Lalu aku mencoba memanggil kembali memori aku, memanggil lagi kisah lama, dan menemukan ingatan bahwa aku pernah menjadi karyawan salah satu instansi pendidikan.
Ya, aku pernah menjadi seorang pengajar, menjadi guru secara tidak sengaja. Ha, tidak sengaja? masa jadi guru kok tak sengaja.
Ceritanya waktu itu ada sebuah desa di Jawa Tengah yang jumlah anak lulus SD cukup banyak, namun karena di daerah itu tidak ada SMP, maka banyak anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah.
Kalau ada SMP jaraknya cukup jauh, menyebabkan animo sebagian masyarakat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMp menjadi kecil.
Beberapa kawan dan tokoh masyarakat yang prihatin dengan kondisi itu, mempersiapkan pendirian sebuah SMP swasta, dan aku diminta menjadi salah satu guru.
Sebenarnya latar belakang pendidikanku bukan pendidikan dan bukan untuk menjadi guru. Namun karena tahu persis kondisi di sekolah yang baru itu sangat kekurangan guru akupun memenuhi permintaan itu.
Aku dan kawan-kawan yang mendirikan sekolah itu sudah terbiasa aktif di masyarakat sebagai penggerak dan penyelenggara kegiatan sosial. Misalnya menjadi guru ngaji, atau motivator untuk anak-anak sekolah di sore hari.
Aku dan kawan-kawan sering menggerakkan anak-anak remaja untuk ngaji, menjadi panitia Ramadhan, dan kegiatan sosial lain.
Sehingga bagi aku dan kawan-kawan ketika harus menjadi guru secara suka rela, di sekolah yang baru didirikan, bukan untuk mengharapkan imbalan material atau gaji.
Namun sebagai sebuah lembaga pendidikan yang profesional, semua guru yang mengajar di sekolah itu tetap mendapatkan gaji, meskipun dalam jumlah minimum.
Seingat aku, yang tidak digaji ada tiga orang yaitu kawanku yang suami istri, suaminya adalah wakil kepala sekolah, istrinya bendahara sekolah. Satu lagi yang tidak digaji adalah kepala sekolahnya.
Ya, mereka bertiga sama sekali tidak digaji, bahkan sering nombok untuk berbagai keperluan sekolah. Aku sebenarnya juga menolak digaji, selain memahami kondisi sekolah, juga karena aku masih bersama orang tua, sebagian besar kebutuhanku masih ditopang kedua orangtuaku.
Biaya kost mereka gratis, ditanggung sekolahan sementara kebutuhan makan tentunya mereka penuhi dari gaji yang sedikit.
Terkadang mereka bercanda sambil cerita, kalau lebih sering makan dengan nasi dan lauk pauk seadanya.
Cukup seringnya mereka cerita, maka akhirnya kuputuskan bahwa gaji pertamaku kubelikan saja untuk kebutuhan mereka, setelah setengah bagiannya kuberikan pada ibuku.
Aku masih ingat, saat amplop gaji pertamaku ada di ku terima, aku buka dan aku hitung jumlahnya. Aku ambil setengah untuk kuberikan pada ibuku, lalu setengahnya kubelanjakan di warung kelontong di samping sekolah.
Uang itu kubelikan beras, gula, teh, kopi dan sebagainya, dan langsung kuberikan pada dua guru tersebut.
Pada awalnya mereka kaget dan menolak pemberian itu, namun aku jelaskan bahwa aku bisa menjalankan aktifitasku meskipun gajiku kubelikan kebutuhan mereka, karena aku masih tinggal sama orangtuaku.
Selain itu aku juga pengin mereka fokus mengajar anak-anak, di sekolah yang masih baru ini, dengan tidak diganggu masalah yang tidak perlu.
Akhirnya mereka memahami maksudku dan mau menerima pemberian kebutuhan harian itu. Sampai beberapa bulan aku masih melakukannya, sampai kondisi sekolah benar-benar sudah stabil.
Itulah kisah tentang gaji pertamaku, dan aku merasa senang bisa melakukan itu untuk kawanku yang memang membutuhkannya.
Aku bahkan merasa gaji pertamaku membahagiakan perasaanku, karena meskipun jumlahnya tak seberapa, aku bisa memberikan untuk mereka yang lebih membutuhkan.
Ceritanya waktu itu ada sebuah desa di Jawa Tengah yang jumlah anak lulus SD cukup banyak, namun karena di daerah itu tidak ada SMP, maka banyak anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah.
Kalau ada SMP jaraknya cukup jauh, menyebabkan animo sebagian masyarakat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMp menjadi kecil.
Beberapa kawan dan tokoh masyarakat yang prihatin dengan kondisi itu, mempersiapkan pendirian sebuah SMP swasta, dan aku diminta menjadi salah satu guru.
Sebenarnya latar belakang pendidikanku bukan pendidikan dan bukan untuk menjadi guru. Namun karena tahu persis kondisi di sekolah yang baru itu sangat kekurangan guru akupun memenuhi permintaan itu.
Aku dan kawan-kawan yang mendirikan sekolah itu sudah terbiasa aktif di masyarakat sebagai penggerak dan penyelenggara kegiatan sosial. Misalnya menjadi guru ngaji, atau motivator untuk anak-anak sekolah di sore hari.
Aku dan kawan-kawan sering menggerakkan anak-anak remaja untuk ngaji, menjadi panitia Ramadhan, dan kegiatan sosial lain.
Sehingga bagi aku dan kawan-kawan ketika harus menjadi guru secara suka rela, di sekolah yang baru didirikan, bukan untuk mengharapkan imbalan material atau gaji.
Namun sebagai sebuah lembaga pendidikan yang profesional, semua guru yang mengajar di sekolah itu tetap mendapatkan gaji, meskipun dalam jumlah minimum.
Seingat aku, yang tidak digaji ada tiga orang yaitu kawanku yang suami istri, suaminya adalah wakil kepala sekolah, istrinya bendahara sekolah. Satu lagi yang tidak digaji adalah kepala sekolahnya.
Ya, mereka bertiga sama sekali tidak digaji, bahkan sering nombok untuk berbagai keperluan sekolah. Aku sebenarnya juga menolak digaji, selain memahami kondisi sekolah, juga karena aku masih bersama orang tua, sebagian besar kebutuhanku masih ditopang kedua orangtuaku.
Guru relawan dari luar kota
Karena kebutuhan guru mendesak, maka sekolah mencari guru dari sebuah lembaga untuk didatangkan ke sekolah kami. Mereka juga digaji, dan bertempat tinggal di salah satu rumah penduduk, gaji mereka sangat kecil menurut ukuran waktu itu.Biaya kost mereka gratis, ditanggung sekolahan sementara kebutuhan makan tentunya mereka penuhi dari gaji yang sedikit.
Terkadang mereka bercanda sambil cerita, kalau lebih sering makan dengan nasi dan lauk pauk seadanya.
Cukup seringnya mereka cerita, maka akhirnya kuputuskan bahwa gaji pertamaku kubelikan saja untuk kebutuhan mereka, setelah setengah bagiannya kuberikan pada ibuku.
Aku masih ingat, saat amplop gaji pertamaku ada di ku terima, aku buka dan aku hitung jumlahnya. Aku ambil setengah untuk kuberikan pada ibuku, lalu setengahnya kubelanjakan di warung kelontong di samping sekolah.
Uang itu kubelikan beras, gula, teh, kopi dan sebagainya, dan langsung kuberikan pada dua guru tersebut.
Pada awalnya mereka kaget dan menolak pemberian itu, namun aku jelaskan bahwa aku bisa menjalankan aktifitasku meskipun gajiku kubelikan kebutuhan mereka, karena aku masih tinggal sama orangtuaku.
Selain itu aku juga pengin mereka fokus mengajar anak-anak, di sekolah yang masih baru ini, dengan tidak diganggu masalah yang tidak perlu.
Akhirnya mereka memahami maksudku dan mau menerima pemberian kebutuhan harian itu. Sampai beberapa bulan aku masih melakukannya, sampai kondisi sekolah benar-benar sudah stabil.
Itulah kisah tentang gaji pertamaku, dan aku merasa senang bisa melakukan itu untuk kawanku yang memang membutuhkannya.
Aku bahkan merasa gaji pertamaku membahagiakan perasaanku, karena meskipun jumlahnya tak seberapa, aku bisa memberikan untuk mereka yang lebih membutuhkan.
gaji yg menyenangkan utk hal yg membahagiakan :D
BalasHapusIyaa, seneng bisa berbagi meskipun sedikit
Hapusmbakkkk..mama saya guru...jadi tau rasanya bagaimana gajiannya guru itu, kalaupun golongannya banyak, masih kena potong sana kena potong sini..ahhaha...tapi bangga y mbak bisa berbakti seperti itu.
BalasHapusMenjadi guru sebenarnya amalan strategis, ehehe, berbagi ilmu insya Allah untuk dunia akherat
HapusmasyaAlloh hebat mba berbagi dengan tujuan mulia :) tp mmg iya guru gajinya kecil kerabat pun mengeluhkan upah yang sedikit tapi tanggungjawab besar dibarengi kebutuhan yang besar pula, smg kondisi guru mdpt perhatian lebih y mba aamiin shg betul kata mba mereka fokus untuk tugasnya
BalasHapusIya, sebenarnya kewajiban guru itu berat, dan mulia. Terlebih mereka yang menjaga integritasnya
HapusInspiratif banget mba pengalamannya, meskipun tugas guru itu cukup berat tapi In Shaa Allah menjadi pekerjaan yang sangat mulia dan berkah.
BalasHapusCari pekerjaan yang halal dan berkah, In Shaa Allah hasilnya juga berkah walaupun tidak terlalu banyak.
Pengalaman mba ngebuat orang harus banyak bersyukur lagi, kereeen
Masya Allah... Takdir Allah itu memang tidak dapat dielakkan,, banyak orang yang sekolah tinggi ingin menjadi guru loh mbak... jadi, kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah Allah anugerahkan kepada kita...
BalasHapus