Selasa, 17 Februari 2015

Tembang Tukang Pindang

Mungkin karena aku sudah tak punya orang tua, dan aku hidup jauh dari keluarga sanak dan kerabat -- kecuali suami dan ibu serta adik-adik suamiku -- akhirnya sering sekali ingat berbagai peristiwa masa kecil, masa remaja dan masa sebelum berada di kota Bogor ini.
Tidak dengan sengaja memanggil kenangan, hanya setiap ada peristiwa, selalu saja membawaku ke kejadian yang sudah kulewati.
Waktu masih sekolah di SD sampai SMP, setiap hari Minggu, aku selalu diminta ibuku untuk berbelanja ke pasar, baik belanja sayur dan lainya untuk dimasak, maupun sekedar beli jajanan pasar. Aku tentu saja merasa senang dengan aktifitas ini, karena hanya bisa kulakukan saat libur sekolah saja.


Biasanya aku dibekali catatan, barang apa yang harus dibeli, dan beli dengan harga berapa, semuanya sudah ditulis ibuku diatas secarik kertas dengan rinci. barang apa yang harus dibeli dan belinya di warung yang mana, atau lebih tepatnya warung atau toko milik siapa. Karena di desa, biasanya bukan nama toko atau warungnya, yang disebut nama pemilik warungnya.

Jadi, hampir di setiap hari libur, aku belanja di warung yang kurang lebih sama, karena ibuku selalu memberi alternatif. Nanti kalau di warung ibu atau bapak X tidak ada, beli saja di warung ibu atau bapak Y.
Nah, saat belanja di pasar itu ada suatu yang khas, yang sampai sekarang masih aku ingat, yaitu kebiasaan yang dilakukan penjual ikan laut  mateng dikukus ataupun diasapi-- di desaku disebut pindang --.
Kebiasaan macam apa? yaitu saat menghitung dagangan yang dibeli oleh konsumen, mereka menghitungnya dengan bernyanyi, bahasa jawanya sambil nembang.
Nembang? iya, mereka nembang dengan irama dan syair tertentu, dan sebagian syairnya  adalah menghitung ikan pindang yang mereka ambil dari baskom ke pembungkusnya yaitu daun jati. Jaman dahulu, para penjual di pasar, membungkus dagangannya dengan daun jati.
Para bakul pindang -- begitu kami menyebutnya -- itu seperti mengarang syair dengan spontan saat mereka mendendangkan lagu yang menggunakan bahasa jawa tersebut. Aku menganggapnya spontan mengarang, karena syairnya tidak pernah sama, hehe.
Tentang suara, jangan ditanya, jauh dari merdu dan jelas bukan vokal yang terasah sebagaimana seorang penyanyi, tetapi itu menjadi ciri khusus yang hanya dimiliki oleh para bakul pindang ini, penjual lain di pasar itu tidak melakukan kegiatan nembang ini. Menurutku bertransaksi dengan menggunakan tembang sebagai media, mengakibatkan suasana transaksi menjadi lebih nyaman, apalagi syair yang dinyanyikan cenderung syair jenaka.
Bagiku itu seperti sastra lisan atau bahasa tutur lokal, atau mungkin ini salah satu yang disebut sebagai kearifan lokal ya? karya yang berbasis pada kebiasaan masyarakat, aaah terlalu tinggi ya?
Tapi aku menganggap itu unik, menarik dan menyenangkan untuk dinikmati.
Sayang sekali, pentas alami  itu sekarang sudah tidak ada lagi, entah kenapa sebabnya. Para bakul pindang itu sekarang tidak lagi mendendangkan tembang, tetapi sama saja dengan penjual lain menggunakan bahasa transaksi yang umum.
Aku sudah tak bisa lagi menikmati tembang yang rasanya unik, setidaknya di desaku. Entah kalau di tempat asalnya sana, apakah para bakul pindang itu masih nembang atau tidak.

5 komentar:

  1. Duuh sayang ya! Harusnya di rekam duluu, baru menghilang. :) Ayo mbak, ditulis lirik tembangnya plus terjemahannya yaa...:)

    BalasHapus
  2. Aku suka makan ikan pindang. Wah ternyata ada tembangnya juga ya hihihi baru tahu :D

    BalasHapus
  3. kreatif ya...nembang disaat berjualan pindang.. :)

    BalasHapus
  4. Ini harta yang luar biasa Mba, kalau mengingat sesuatu di masa lalu itu berpengaruh sama mood, membuat kita terbang ke masa itu kembali :D
    Merasakan suasana dan kehangatannya hehehe...
    nembang saat jualan berarti ikhlas saat bekerja, berusaha senang saat bekerja :D

    BalasHapus
  5. Kreatif sekali ya mba,...sayang sekali kebiasaan itu skg gak ada lg ya...

    BalasHapus